Selasa, 23 Agustus 2016

SUKRENI GADIS BALI

IDENTITAS BALI
DALAM NOVEL “SUKRENI GADIS BALI”

Oleh
Nanang Sutrisno

1.     Pendahuluan
Bali menjadi bagian dari pluralitas bangsa Indonesia yang membentang dari Sabang sampai Merauke. Dikatakan demikian karena Bali mewarisi keunikan dan kekhasan budaya yang tidak dimiliki oleh etnis lain. Proses pergulatan cipta, rasa, dan karsa dari sejak zaman prasejarah hingga Bali modern, menandai dinamika kebudayaan Bali sehingga menampakkan wujudnya seperti sekarang ini. Spirit taksu dan jengah yang menjadi basis kreativitas masyarakat Bali dalam pengembangan kebudayaannya menjadikan kebudayaan Bali selalu berubah dan berkesimbangunan (change and continuity) untuk mencapai taraf yang lebih mutakhir, baik pada tataran ide, aktivitas, maupun artefaktual (Mantra, 1996:12). Tampaknya, spirit ini telah mampu membangun citra Bali di mata dunia internasional sehingga menjadikannya tujuan wisata yang populer dan membanggakan bagi bangsa Indonesia.
Dalam hal ini citra positif Bali bukanlah sesuatu yang terberi (given), melainkan terjadi dari proses konstruksi yang panjang dan berliku. Sejak pemerintah Belanda mempromosikan Bali kepada masyarakat Eropa dan Amerika, juga semakin banyak wisatawan, seniman, dan ilmuwan yang mengunjungi Bali. Sebut saja beberapa nama seperti, Walter Spies, Rudolf Bonnet (pelukis), Miguel Covarrubias (penulis dan pelukis), Clifford Geertz, Thomas A.Reuters, David J. Stuart Fox, Margaret Mead, Gregory Bateson (Antropolog), Ernest Schlager (musisi), dan Theo Meier (pelukis) (Couteau, 1999:19). Para wisatawan, seniman, dan ilmuwan ini bukan hanya datang untuk menikmati keeksotisan alam dan budaya Bali, tetapi juga memberikan sumbangan besar dalam mengkonstruksi identitas Bali. Rudolf Bonnet misalnya, sejak kedatangannya di Ubud dan menetap di Peliatan pada tahun 1929, Bonnet terlibat aktif dengan seniman-seniman lukis di Ubud dan mengajarkan teknis seni lukis kepada beberapa seniman lukis Ubud (Couteau, 1999:22). Sementara itu, para antropolog dari Eropa dan Amerika juga telah memberikan catatan yang mengesankan tentang realitas sosial, budaya, dan agama masyarakat Bali dalam karya-karya mereka.
Kenyataan ini tampaknya mendasari pendapat Vickers (1989:10) bahwa penjajah Belanda telah mendefinisikan kembali citra Bali dari semula tempat yang liar dan tak beradab menjadi citra sebuah pulau surga (the last paradise). Pendapat ini ditegaskan oleh Picard (1997:186) bahwa Identitas manusia Bali sekarang ini merupakan sebuah konstruksi yang terinspirasi oleh citra-citra kolonial, citra Indonesia, dan citra touristik. Pejabat-pejabat kolonial Belanda, intelektual-intelektual Bali dulu, dan pejabat pemerintah Indonesia sekarang telah terlibat secara aktif dalam membangun pandangan resmi tentang identitas Bali. Pada akhirnya, Bali as The Last Paradise, The Island with Thousand Temple, The Morning of World, merupakan citra yang dilekatkan pada Bali masa kini. Citra baru ini tampaknya telah mengubur ingatan orang Bali sekarang tentang identitas Bali masa kolonial yang dilukiskan Vickers (1989:11) sebagai “an island of theft and murder" (pulau pencurian dan pembunuhan). Sebuah karakter orang Bali yang sama sekali berbeda dengan pencitraannya sebagai masyarakat yang religius, ramah, dan cinta damai.
Identitas Bali pada masa kolonial inilah yang tampaknya menginspirasi A.A. Panji Tisna untuk menuangkannya dalam novel Sukreni Gadis Bali. Mengingat pujangga yang lahir di Singaraja, 11 Februari 1908 ini memang menjalani kehidupannya pada masa penjajahan Belanda. Sementara itu, novel Sukreni Gadis Bali sendiri diterbitkan pertama kali pada tahun 1936. Dengan pengalaman hidup selama 36 tahun sampai terbitnya karya ini, tampaknya Panji Tisna sudah cukup memahami kebudayaan masyarakat di sekitarnya yang kemudian dijadikan setting lokasi dan cerita. Oleh karena itu, novel ini dapat dijadikan salah satu referensi untuk memahami identitas Bali dalam kronik sastra modern.
Secara teoretis, pemilihan tema identitas ini didasari pemikiran tentang pentingnya identitas dalam kehidupan masyarakat plural. Dengan demikian, tulisan ini dapat memberikan gambaran tentang identitas Bali pada masa kolonial, baik kebudayaan maupun keagamaannya. Sebaliknya secara praktis, pemilihan tema ini disesuaikan dengan rencana disertasi penulis, yaitu “Konstruksi Identitas Keberagamaan Umat Hindu di Kabupaten Banyuwangi”. Dengan demikian, penulisan makalah ini menjadi salah satu cara untuk mendekatkan diri dengan masalah penelitian, atau setidak-tidaknya menjadi media latihan untuk menulis tema yang sejalan dengan rencana penelitian.

2.     Sinopsis Cerita
Sukreni Gadis Bali, karya A.A. Pandji Tisna merupakan salah satu novel populer dalam ranah kesusasteraan Indonesia modern. Seturut dengan judulnya, novel ini memang mengangkat dimensi kehidupan seorang gadis Bali bernama Sukreni. Untaian cerita yang saling menjalin antara satu segmen dengan segmen yang lain menjadi keunggulan karya ini. Melalui karya ini pula, penulis menunjukkan pemahamannya yang mendalam terhadap karmaphala, yaitu hukum moral yang paling esensial dalam agama Hindu dan kebudayaan Bali. Meskipun pengarang sendiri mengalami konflik identitas dalam kehidupan pribadinya karena banyak pihak yang menganggap dia adalah seorang Kristiani.
Novel ini dimulai dengan cerita tentang Men Negara, seorang pemilik warung di desa Bingin Banyah, sebuah kawasan perkebunan kelapa di wilayah Singaraja. Men Negara sesungguhnya adalah seorang perempuan dari daerah Karangasem yang pergi meninggalkan anak dan suaminya karena mengikuti laki-laki lain. Kemudian, bersama laki-laki selingkuhannya ini Men Negara memiliki dua orang anak, yaitu I Negara dan Ni Negari. Sementara itu dari suami sebelumnya, ia juga memiliki seorang anak perempuan bernama Ni Widi. Rupanya, kepergian sang ibu inilah yang memulai babak tragis kehidupan Ni Widi. Bukan hanya karena ia harus menjalani hidup tanpa kasih sayang seorang ibu, tetapi juga sang ibu ini nantinya akan menjadi aktor penyebab kehancuran hidupnya.
Diceritakan selanjutnya bahwa warung makanan milik Men Negara cukup ramai dikunjungi pembeli. Pelanggannya berasal dari berbagai kalangan, mulai dari para pekerja kebun kelapa, polisi, hingga tokoh masyarakat. Pesatnya perkembangan warung Men Negara karena ia berhasil memanfaatkan kecantikan Ni Negari putrinya, untuk menarik para pembeli, bahkan dari luar desa. Malahan, juga Ni Negari berhasil dijadikan umpan untuk memikat hati seorang kepala polisi yang bernama Gusti Made Tusan sehingga berbagai praktik pelanggaran hukum yang dilakukan Men Negara dapat diampuni. Alhasil, Men Negara benar-benar menikmati kehidupan ekonominya yang semakin membaik dan memupuk sifat materalis dalam kehidupannya.
Klimaks cerita dimulai dari kedatangan Sukreni ke Kampung Bingin Banyah. Sukreni sesungguhnya adalah Ni Widi, putri Men Negara yang telah ditinggalkannyaa saat masih berumur delapan tahun. Ayah Sukreni telah mengganti nama Ni Widi menjadi Ni Luh Sukreni. Dengan maksud agar Sukreni tidak bisa lagi mengenali dan dikenali ibunya. Tujuan kedatangan Sukreni ke desa Bingin Banyah adalah untuk menemui Ida Suamba guna meminta pendapat dan solusi atas kasus waris yang terjadi di kampung halamannya. Pertemuan pertama dengan Ida Gde Suamba belum mendapatkan solusi sehingga Sukreni datang kembali di kemudian hari. Pada kedatangan yang kedua kalinya ini, Ida Gde Suamba sedang keluar daerah sehingga Sukreni memutuskan untuk beristirahat di rumah Men Negara. Sesungguhnya ini adalah pertemuan ibu dan anak, tetapi kedua-duanya tidak saling mengenali.
Rupanya, keberadaan Sukreni di warung Men Negara telah menarik perhatian para pelanggannya, tidak terkecuali Gusti Made Tusan. Kecantikan Sukreni telah membangkitkan hasrat seksual Gusti Made Tusan untuk mendapatkannya. Gayung bersambut, kacamata materialis Men Negara segera menangkap adanya “komoditas” baru yang layak jual, yakni Sukreni. Singkat cerita, strategipun diatur oleh Men Negara untuk memenuhi permintaan Gusti Made Tusan. Saat Sukreni berada di rumah sendiri, Men Negara pergi bersama anak-anaknya sehingga memberi kesempatan Gusti Made Tusan untuk memperkosa Sukreni. Hingga keesokan harinya, saat hati Men Negara begitu bergembira karena mendapatkan uang melimpah dari hasil “menjual” Sukreni, I Negara juga datang dengan membawa berita gembira. Berita bahwa Sukreni adalah saudara tirinya, anak dari Men Negara yang telah ditinggalkannya saat masih bayi. Mendengar berita ini, Men Negara didera penyesalan yang tanpa akhir. Ia merasa sangat berdosa karena telah tega menjual anaknya sendiri hanya untuk memenuhi keserakahannya.
Setelah kejadian itu, Sukreni telah meninggalkan rumah Men Negara pada pagi-pagi buta. Ia pergi terlunta-lunta tanpa tujuan dengan membawa benih bayi dalam perutnya. Sampai akhirnya seorang yang baik hati menerimanya, merawat kandungannya, hingga lahirlah bayi laki-laki dari rahimnya. Bayi itu diberi nama Gustam. Ia tumbuh besar menjadi lelaki yang gagah perkasa, tapi sayang jiwanya berandalan. Gustam tumbuh menjadi seorang kepala kawanan perampok yang cukup disegani di daerah Singaraja. Hingga suatu waktu, warung Men Negara menjadi sasaran aksinya. Perampokan dilakukan, bahkan warung Men Negara dibakar oleh Gustam dan kawan-kawannya. Akan tetapi pada saat yang bersamaan, Gusti Made Tusan sang kepala polisi sedang berada di sana untuk melakukan patroli keamaan. Sampai akhirnya perkelahian antara perampok dan polisi tidak terhindarkan.
Perkelahian berlangsung semakin seru dan korban berjatuhan di kedua belah pihak. Hingga pada akhirnya Gusti Made Tusan sang kepala polisi, kini berhadapan satu lawan satu dengan Gustam si kepala perampok. Anak dan ayah yang tidak saling mengenal, bertarung dengan senjata terhunus di tangannya masing-masing. Peluru Gusti Made Tusan menembus dada Gustam, dan Gustam juga berhasil membabat leher sang ayah. Ayah dan anak inipun mati, sebelum mereka sempat menyadari dengan siapa mereka saling bunuh. Tempat itu telah menjadi saksi bisu kehancuran Sukreni Gadis Bali. Di tempat itu Sukreni dijual ibunya sendiri dan di tempat ini pula si pemerkosa dan anaknya meninggal bersama-sama. 

3.     Fiksi di Ranah Culture Studies
Sukreni Gadis Bali merupakan karya fiksi modern yang hadir di tengah belantara kesusasteraan Indonesia abad XX. Novel ini cukup populer bagi para penggiat dan pengkaji sastra Indonesia sehingga keberadaannya dapat disejajarkan dengan novel-novel populer lainnya, seperti Layar Terkembang, Kasih Tak Sampai (Siti Nurbaya), Sengsara Membawa Nikmat, dan Di Atas Sebuah Kapal. Kepopuleran karya-karya ini tentu tidak hanya disebabkan oleh ceritanya yang indah dan menarik, tetapi karena wacana ideologis yang dibangun. Hal ini sejalan dengan pandangan Williams (Faruk, 2003:79) bahwa kesusasteraan dapat menjadi kekuatan sosial, politik, dan kultural yang memungkinkan lahirnya gerakan perlawanan terhadap ketidakadilan. Fiksi modern seringkali hadir untuk melakukan kritik sosial terhadap berbagai praktik penyimpangan budaya dominan, serta menjadi corong kaum marjinal untuk melawan ketidakadilan. Oleh karena itu, harus diakui bahwa kajian fiksi modern telah memainkan peran penting dalam analisis budaya (Storey, 2007:36). Dengan kata lain bahwa karya sastra modern mencerminkan perpaduan yang mengesankan antara struktur narasi, nilai estetis, dan emansipasi budaya.
Pendapat tersebut menegaskan bahwa fiksi modern tidak bisa lagi dipahami semata-mata narkotis yang hanya bisa membuat pembacanya kecanduan, tetapi juga menawarkan sebuah pencerahan (Storey, 2007:36). Pencerahan ini dapat diperoleh dengan membongkar wacana ideologis yang terkandung di dalamnya. Hal ini mengantarkan Althuser pada konsep “problematika”, yaitu struktur teoretis dan ideologis yang merangkai dan memproduksi wacana yang saling silang dan berkompetisi secara terorganisasi dalam sebuah teks. Dengan kata lain, teks itu sendiri adalah sebuah problematika. Akan tetapi, pada saat yang bersamaan teks itu juga mendorong lahirnya jawaban-jawaban (Storey, 2007:37). Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa dalam teks sastra mengandung berbagai macam problematika dan sekaligus jawabannya, baik secara tersurat maupun tersirat.
Segala yang tersurat dalam teks membangun struktur naratif, seperti tema, tokoh, alur, dan setting. Sementara itu, segala yang tersirat merupakan struktur makna teks. Struktur naratif lebih memerankan fungsi deskriptif, yakni pelukisan cerita secara apa adanya dengan maksud menggugah naluri estetis pembaca, bahkan tidak jarang memberi sentuhan narkotis. Sebaliknya, struktur makna lebih banyak memerankan fungsi transformatif, yaitu mengungkap kritik, wacana, ideologi, dan amanat yang memungkinkan munculnya pencerahan (Sugiharto, 1996:80). Dalam ranah culture studies, kekuatan naratif suatu karya sastra lebih bersifat metaforis. Artinya, keunggulan suatu narasi terletak pada kepekaannya dalam memainkan wacana-wacana ideologis yang berkembang di masyarakat. Di sini, karya sastra dipandang merupakan suatu unit wacana dan acuannya adalah “dunia” yang ditampilkan. Menafsirkan suatu karya sastra berarti memajang ‘dunia’ yang diacu oleh karya itu, melalui bentuk penataan, genre (kodifikasi khas), dan gaya penulisannya (Sugiharto, 1996:105). Dengan demikian, analisis karya-karya fiksi harus diarahkan untuk mengungkap struktur naratif dan metafor secara bersama-sama, sebagai sesuatu yang jalin-menjalin membangun keseluruhan makna teks.
Suatu karya sastra dapat dipahami maknanya sesuai dengan konvensi ketandaan, yaitu kajian utama dalam analisis semiotika. Dalam analisis semiotika, segala sesuatu dapat dijabarkan sebagai bahasa. Bahasa pada prinsipnya merupakan perangkat yang didasarkan pada konvensi sosial. Dalam penggunaan sehari-hari, bahasa tidak dapat dilepaskan dari sistem pemaknaan tertentu yang dipakai untuk menunjukkan suatu realitas. Menurut Saussure, bahasa (langue) adalah khasanah tanda (lexicon of signification) (Sturrock, 2007:6). Bahasa bukanlah sekadar kata-kata, melainkan juga semesta tanda. Tanda membentuk kode-kode yang melestarikan fungsi bahasa (Sturrock, 2007:7). Jadi, semiotika merupakan perluasan jangkauan (ekstensi) dari terma linguistik yang memandang bahasa adalah sistem tanda (Audifax, 2007:21). Karya sastra merupakan sistem semiotik tingkat kedua yang menggunakan bahasa sebagai bahan semiotik tingkat pertama (Pradopo, 2003:108). Disebut semiotik tingkat kedua atau jenis bahasa sekunder (Segers, 2000:14), karena karya sastra dengan petandanya seperti, metafora, konotasi, dan ciri-ciri penafsiran ganda lainnya bukanlah bahasa biasa, melainkan sistem komunikasi yang telah sarat dengan pesan kebudayaan (Ratna, 2004:111).
Berkenaan dengan pendapat tersebut maka analisis terhadap bahasa sekunder, yaitu konotasi dan metafor merupakan landasan utama untuk menangkap pesan sebuah karya sastra. Konotasi diartikan tautan pikiran yang menimbulkan nilai rasa pada seseorang ketika berhadapan dengan sebuah kata; makna yang ditambahkan pada makna denotasi (KBBI, 2005:588). Sementara itu, metafor adalah pemakaian kata atau kelompok kata bukan dengan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan (KBBI, 2005:739). Metafora adalah permainan bahasa (language game) yang tidak sungguh-sungguh memaksudkan apa yang jelas-jelas dikatakannya. Makna sebuah metafor mengatasi dirinya sendiri dan membimbing ke sesuatu yang justru tidak dikatakannya (Sugiharto, 1995:106). Dengan demikian, konotasi dan metafor merupakan jenis bahasa yang tidak bermakna tunggal. Hal ini ditegaskan oleh Derrida (Al-Fayyadl, 2005:88) bahwa makna selalu bersifat differance, seperti hantu yang bermain antara ada dan tiada; keberadaannya adalah ketiadaannya, dan ketiadaannya adalah keberadaannya. Difference membayangi setiap teks dengan kemungkinan-kemungkinan lain yang menawarkan kejutan, tidak terduga, dan cukup membuat cemas karena seolah-olah teks kehilangan makna.
Berkaitan dengan pembacaan terhadap karya fiksi, Althuser (dalam Storey, 2007:37) menawarkan metode simptomatik atau dekonstruksi teks. Metode simptomatik berarti menguak mekanisme problematika, yaitu perubahan, distrosi, kebisuan, dan ketakhadiran (simptom-simptom) dan dengan begitu membangun kondisi historis eksistensi (Storey, 2007:37). Kemudian, menurut Johnson bahwa dekonstruksi adalah strategi mengurai teks. Istilah “de-konstruksi” sebenarnya lebih dekat dengan etimologi kata ‘analisis’ yang berarti mengurai, melepaskan, membuka (Al-Fayyadl, 2005:79; Audifax, 2007:46). Kedekatan etimologis ini menunjukkan bahwa dekonstruksi lebih dimaksudkan sebagai strategi mengurai struktur dan medan pemaknaan teks, ketimbang operasi untuk merusak teks itu sendiri. Dengan demikian, apabila sebuah teks didekonstruksi maka bukanlah makna yang dihancurkan. Akan tetapi, klaim bahwa suatu bentuk pemaknaan teks lebih benar daripada pemaknaan lain yang berbeda – inilah yang didekonstruksi (Al-Fayyadl, 2005:80). Intinya, dekonstruksi menolak pandangan tentang ketunggalan makna dalam sebuah teks dan sebaliknya, mejunjung tinggi diferensitas.
Metode pembacaan ini telah diterapkan pada teks-teks fiksi oleh Pierre Macherey dalam buku A Theory of Literary Production (1978). Macherey dengan tegas menolak adanya istilah “kesalahan interpretatif”, karena tidak ada teks yang memiliki makna tunggal. Bagi Macherey, teks bukanlah teka-teki yang menyembunyikan makna, tetapi suatu konstruksi dari berbagai makna (Storey, 2007:38). Hal ini sejalan dengan ikhtiar Derrida yang mempertanyakan kembali klaim filsafat bahwa sebuah teks memiliki makna yang univokal dan tidak menyertakan sedikitpun ambiguitas di dalamnya. Dekonstruksi menggugat modus pemaknaan yang terpusat dan cenderung bulat, seperti yang mungkin diinginkan oleh teks. Dalam dekonstruksi, makna lebih dialami sebagai proses dari penafsiran dan bukan hasil yang sudah jadi dan dapat dinikmati begitu saja. Makna ada di balik layar, tetapi wujudnya bukan kehadiran, melainkan proses menjadi yang terus-menerus menunda pengertian yang dirasakan memadai dan menggantikannya dengan penanda-penanda baru yang lebih terbuka dan ambigu (Al-Fayyadl, 2005:82). Berpijak pada kerangka teoretis tersebut maka Sukreni Gadis Bali dipandang sebagai sebuah narasi yang dalam dirinya sendiri mengandung begitu banyak problematika yang layak ditelusuri dan diuraikan kebenarannya, termasuk di dalamnya persoalan identitas Bali.

4.     Identitas Bali dalam Sukreni Gadis Bali
Kebenaran yang hendak ditelusuri dalam novel Sukreni Gadis Bali adalah konstruksi identitas Bali di masa kolonial. Dalam dunia sosial, identitas menjadi kebutuhan yang teramat penting bagi individu. Melalui identitas orang bisa membedakan dirinya dengan yang lain, sekaligus memberi petanda kediriannya bagi orang lain. Bagi filsuf eksistensialis, identitas mulai muncul justru ketika manusia mulai mempertanyakan dirinya (Dagun, 1993). Ketika manusia bertanya akan dirinya, di situlah sebenarnya manusia telah berupaya membedakan dirinya dengan yang lain. Melalui identitas orang bisa membedakan “aku”, “kita”, “dia”, dan “mereka”, penting bagi kehidupan masyarakat yang plural.
Walaupun demikian, identitas dalam ranah kebudayaan merupakan sesuatu yang unik, khas, dan kompleks. Identitas budaya tidak datang sendiri, tetapi dibentuk atau dibangun sebagai buah interaksi dinamis antara konteks historis dan construct. Oleh karena itu, identitas bersifat situasional dan bisa berubah, disusun dalam hubungannya dengan sejumlah others (Manuati, 2004:12). Identitas sebuah etnik dapat ditentukan oleh faktor material budaya, seperti makanan, pakaian, perumahan, peralatan, dan juga faktor nonmaterial seperti bahasa, adat istiadat, kepercayaan, cara berpikir, sikap, dan lain-lain (Liliweri, 2005:48). Intinya, identitas itu adalah sesuatu yang cair (fluid) dan dapat dipertukarkan melalui konstruksi dan rekonstruksi sosial sehingga tidak ada identitas yang tunggal.
Dalam novel Sukreni Gadis Bali, wacana identitas bergulat, muncul dan tenggelam dalam keseluruhan narasi yang dibangun melalui interaksi antara teks dan pembaca. Malahan, wacana ini tampak begitu samar, sesekali menampakkan diri dalam narasi, tetapi pada saat yang lain berada di luar narasi. Hal mana seperti dilambangkan oleh Derrida sebagai “lampu sorot”, maka struktur besar naratif adalah lampu sorot itu (Al-Fayyadl, 2005:83). Ia memberi kejelasan cerita dari awal hingga akhir. Sebaliknya, wacana identitas menjadi sisi lain yang terkadang tercerahi oleh lampu sorot itu, namun seringkali menempati sisi-sisi gelap di sampingnya. Wacana ini seolah-olah ada dalam ketiadannya. Ia akan muncul, jika dan hanya jika, pembaca mampu membongkar dan menemukan keberadaannya.
Penelusuran mengenai identitas Bali dalam novel Sukreni Gadis Bali berpijak pada pendapat Vikers (1989) dan Picard (1997) tentang peran kolonial dalam membangun citra Bali masa kini. Pencitraan Bali sebagai pulau yang indah, eksotis, dan religius, ternyata hanya wacana politik kolonial untuk menabur simpati masyarakat Bali dan menanamkan hegemoni kekuasaannya. Sebaliknya, identitas karakter kekerasan orang Bali sebagai “kebenaran lain”, ternyata tertutupi dan terakumulasi dalam kesadaran orang Bali yang siap membuncah kapan saja. Bukan tidak mungkin, meningkatnya intensitas konflik adat di Bali belakangan ini menjadi gambaran nyata betapa karakter kekerasan merupakan bagian dari kultur masyarakat Bali. Melalui cara kerja dekonstruksi dapat diuraikan identitas Bali dalam novel Sukreni Gadis Bali, seperti diuraikan dalam subbab berikut ini.

4.1  Konstruksi Identitas
Problematika identitas dalam novel Sukreni Gadis Bali mulai muncul dengan perubahan nama “Ni Widi” menjadi “Sukreni”. Dikatakan demikian karena “Sukreni” telah menghilangkan identitas “Ni Widi”, walaupun kedua identitas ini menunjuk pada subjek yang sama. Akan tetapi, identitas subjek ini sudah dikonstruksi secara berbeda dalam dunia sosialnya. Ni Widi menunjuk pada identitas seorang anak yang mempunyai ibu, sebaliknya Sukreni adalah identitas anak yang tanpa ibu. Sukreni harus menerima takdir sosialnya, tumbuh dan berkembang tanpa kehadiran seorang ibu. “Sukreni Kecil” menjadi simbol bahwa manusia yang tanpa kesadaran identitas (unconsciousness identity), akan menerima begitu saja identitasnya dipermainkan oleh aktor lain.
Adapun aktor dibalik pergantian identitas Ni Widi adalah ayahnya sendiri. Tujuannya agar Ni Widi tidak bisa lagi mengenali dan dikenali ibunya, yaitu Men Widi. Diceritakan bahwa Men Widi telah melarikan diri dari rumah karena mengikuti laki-laki lain yang bukan suaminya. Singkatnya, Men Widi telah tega meninggalkan suami dan anaknya demi laki-laki selingkuhannya. Apabila cerita ini dipandang sebagai potret kehidupan masyarakat Bali, maka gejala perselingkuhan sudah terjadi pada masa itu. Secara moral, seorang ibu yang berselingkuh, serta berani meninggalkan anak dan keluarganya dicap sebagai ibu yang jahat sehingga tidak layak lagi untuk dikenali oleh keluarga, bahkan anak kandungnya sendiri. Ibu seperti ini harus benar-benar dihilangkan dari memori keluarga karena dianggap sebagai aib. Dari sini dapat dipahami bahwa Pan Widi secara cerdas memainkan nilai-nilai moral untuk mengkonstruksi identitas putrinya. Dengan demikian, Pan Widi adalah orang yang sadar identitas karena dengan memainkan identitas Ni Widi, anak ini benar-benar tidak dapat dikenali oleh ibunya. Terbukti bahwa ketika Sukreni bertemu dengan Men Negara keduanya tidak saling mengenal.  
Dalam perjalanan hidupnya Men Widi telah berganti identitas menjadi Men Negara. Pergantian identitas ini merupakan hasil konstruksi sosial dan budaya masyarakat Bali karena identitas Men Negara diterima setelah ia memiliki anak bernama I Negara. Dalam sistem sosial masyarakat Bali sudah lumrah terjadi bahwa untuk memanggil nama seorang laki-laki atau perempuan yang sudah beranak, cukup dengan melekatkan nama panggilan anak pertama di belakang kata “Pan” (ayah), atau “Men” (ibu). Walaupun Men Negara sudah memiliki anak pertama dari suami sebelumnya, namun ia tidak lagi memakai identitas itu. Ini menegaskan bahwa identitas merupakan sesuatu yang cair, terbangun melalui akumulasi historis yang berhubungan dengan berbagai konstruksi sosial. Lihat saja cerita Men Negara, dulu dia adalah Men Widi, kemudian menjadi Men Negara, dan di akhir cerita menjadi anak buduh (orang gila).
Berbeda dengan Sukreni kecil yang harus menerima identitasnya dipermainkan oleh aktor lain (ayahnya) dan Men Negara yang identitasnya dikonstruksi oleh sistem sosial, cerita berikutnya menunjukkan Sukreni yang semakin sadar identitas. Hal ini dapat disimak dari pergantian nama Sukreni menjadi Ni Made Sari, setelah ia diperkosa oleh Gusti Made Tusan. Dalam segmen ini, seolah-olah Sukreni ingin menghilangkan aib yang menimpa dirinya dengan membangun identitas baru yang bebas dari predikat moral. Artinya, dengan menjadi Ni Made Sari, Sukreni tetap menjadi “gadis suci” yang tidak pernah membawa benih pemerkosa dalam dirinya. Kalaupun sekarang ada wanita yang hamil tanpa suami maka itu bukanlah Sukreni, tetapi Ni Made Sari.
Uraian di atas menunjukkan model konstruksi identitas yang terjadi pada masyarakat Bali. Proses konstruksi ini relatif kompleks karena melibatkan peran-peran individu, baik sebagai aktor maupun diri, dan juga sistem sosial. Pergantian nama Ni Widi menjadi Sukreni oleh ayahnya, menunjukkan bahwa aktor memainkan peranan otoritas dan dominasi dalam membangun identitas yang sah (legitimized identity) (Castells, dalam Sutrisno dan Putranto, 2004:97). Dalam hal ini, otoritas seorang ayah untuk menentukan identitas sah bagi anaknya merupakan sesuatu yang berterima dengan norma dan pranata sosial masyarakat Bali. Selanjutnya, identitas yang melekat pada Men Negara dapat dipandang sebagai model konstruksi identitas dalam sistem sosial masyarakat Bali. Identitas Men Negara merupakan wujud fakta sosial yang harus diterima ketika ia menjadi ibu dari I Negara, tanpa tersisa ruang baginya untuk menjadi yang lain. Berbeda dengan kedua model di atas, Sukreni yang merubah namanya menjadi Ni Made Sari menjadi bukti betapa individu dapat mengkonstruksi identitasnya sendiri. Hal ini sejalan dengan pendapat Giddens (1991:75) bahwa individu berusaha mengkonstruksi suatu narasi identitas koheren, di mana “diri” membentuk suatu lintasan perkembangan diri masa lalu sampai masa depan yang dapat diperkirakan. Dalam hal ini, Sukreni sadar diri bahwa masa lalunya yang kelam tidak akan diterima masyarakat, baik secara moral maupun sosial, walaupun dia hanyalah korban. Oleh karena itu, jejak-jejak narasi tentang Sukreni sebagai korban perkosaan dihilangkan dengan cara membangun narasi baru tentang Ni Made Sari, yakni wanita malang yang hamil tanpa suami.

4.2  Hegemoni Budaya Patriarki
Masyarakat Bali menganut sistem kekerabatan patrilineal dan bersamaan dengan itu, juga kekuasaan laki-laki atas perempuan tampak dominan. Ideologi patriarki adalah ideologi yang menekankan bahwa laki-laki lebih tinggi daripada perempuan, bahwa perempuan harus dikontrol oleh laki-laki, dan bahwa perempuan adalah milik laki-laki (Bashin, 1994:4). Sementara itu, Adian (2006) menyatakan bahwa ideologi patriarki adalah suatu ide yang menempatkan pria pada posisi dominan dan wanita pada posisi subordinat. Terkait erat dengan ideologi patriarki ini adalah ideologi gender dan ideologi seks. Hegemoni dan dominasi budaya patriarki dalam masyarakat Bali inilah yang muncul dan tenggelam dalam belantara narasi Sukreni Gadis Bali.
Hal ini dapat disimak dari cerita Ni Negari, gadis cantik putri Men Negara. Ia telah dijadikan alat ibunya untuk memikat para pelanggan dengan kecantikan dan kelembutannya. Malahan dalam novel ini diceritakan bahwa hampir seluruh pelanggan Men Negara adalah kaum laki-laki. Setidak-tidaknya, terdapat dua problematika yang dapat dibaca dari teks sosial ini, yaitu tidak diceritakan adanya perempuan yang gemar datang ke warung Men Negara dan ketertarikan laki-laki kepada Ni Negari. Dengan perspektif hegemoni ideologi patriarki kedua masalah ini dapat dijelaskan, seperti berikut.
Ideologi patriarki cenderung menempatkan dominasi laki-laki atas perempuan dalam bidang sosial ekonomi. Ini terbukti bahwa pelanggan warung Men Negara adalah kaum laki-laki yang terdiri atas berbagai profesi, seperti para pekerja kebun kelapa, para polisi, dan tokoh masyarakat. Sementara itu, kaum perempuan lebih banyak memainkan peran-peran domestik. Dalam perbedaan peran inilah, budaya makan dan minum di warung cenderung menjadi milik laki-laki karena merekalah yang memiliki modal ekonomi untuk itu. Budaya ini diperkuat dengan stigma moral yang cenderung menabukan perempuan untuk nongkrong di warung. Ini menegaskan pandangan Bashin (1994:27) bahwa agama (juga moralitas) memainkan peran yang penting dalam menciptakan dan mengabadikan ideologi patriarki.
Pada sisi yang lain, Men Negara menjadi simbol perempuan “lain” (the others) yang berbeda dari keumuman perempuan. Ia menjadi perempuan yang mengambil peran di sektor publik dengan mencari nafkah melalui warungnya. Malahan, ia berhasil memainkan hegemoni budaya patriarki ini dengan memanfaatkan modal tubuh anak perempuannya untuk meraup keuntungan material. Dalam hal ini, ideologi patriarki menjadi arena permainan modal budaya dan modal ekonomi dalam kerangka kapitalisme yang akut. Budaya patriarki cenderung mendorong hasrat laki-laki untuk menjadikan tubuh perempuan sebagai objek sensual dan seksualnya. Seperti dinyatakan Piliang (2004:210) bahwa tubuh wanita dalam wacana kapitalisme memproduksi nilai guna (use value), nilai tukar (exchange value), dan nilai tanda (sign value) sehingga menjadi bagian sentral dari politik kapitalisme, dengan segala prinsip dan hukum-hukumnya. Dalam konteks ini, tubuh Ni Negari berhasil dimanfaatkan oleh Men Negara menjadi modal ekonomi untuk mewujudkan kepentingannya mendapatkan materi yang melimpah. Demikian halnya ketika Men Negara mendapatkan Sukreni sebagai komoditas baru yang layak jual. Apalagi kehadiran Sukreni memang telah menarik dan membangkitkan hasrat kelelakian Gusti Made Tusan untuk memilikinya.
Merujuk pada penjelasan di atas dapat dipahami bahwa hegemoni budaya patriarki telah meminggirkan peran-peran perempuan Bali di ranah publik. Novel ini tampaknya ingin mengungkap ideologi tersebut, walaupun juga menyiratkan adanya kekhawatiran munculnya akibat-akibat moral yang tidak menyenangkan. Pada satu sisi, wacana pencerahan dibangun melalui penyadaran terjadinya dominasi dan hegemoni budaya patriarki terhadap perempuan dalam kebudayaan Bali. Namun sebaliknya, peran perempuan di ruang publik tidak seluruhnya berterima dengan norma moral dan sosial masyarakat Bali dalam budaya patriarki yang akut. Pesan yang dapat ditangkap dari wacana tersebut bahwa diperlukan kebijaksanaan dan kesadaran dari perempuan Bali dalam mempertimbangkan pilihan-pilihan peran yang dapat dilakukan di ruang publik sehingga tidak menjadikan dirinya komoditas bagi kaum laki-laki.
      
4.3  Pluralitas Agama
Novel Sukreni Gadis Bali menggambarkan pluralitas agama di Bali pada masa itu. Selain agama Hindu sebagai mayoritas, juga terdapat agama Islam dan Kristen. Keberadaan agama Islam dapat dilihat dari orang yang pertama kali menampung Men Negara dalam pelariannya bersama laki-laki lain adalah seorang Haji di sebelah barat Singaraja. Sementara itu, keberadaan agama Kristen ditunjukkan dengan kasus waris yang terjadi di desa Sukreni. Dalam cerita tersebut dijelaskan bahwa persoalan waris bagi orang Hindu yang sudah masuk Kristen menjadi salah satu masalah dalam pluralitas agama di Bali. Akan tetapi, penjelasan Ida Gde Suamba dalam sebuah percakapan dengan I Made Aseman menunjukkan sudah munculnya pemikiran baru dari generasi muda Hindu yang mengarah pada terbentuknya masyarakat multikultural.   
Walaupun demikian, salah satu segmen penting dari novel Sukreni Gadis Bali adalah identitas agama Hindu Bali. Wacana ini muncul dalam dialog Ida Gde Suamba dengan Chaterjee, seorang ilmuwan dari India. Identitas Hindu Bali yang dijelaskan antara lain, konsep tri sadhaka (Siwa Siddhanta, Buddha, dan Sengguhu), Catur Warna, dan persamaan antarwangsa. Dikatakan bahwa Siwa Siddhanta adalah yang dominan, kemudian Buddha atau Sogata yang berbeda dengan Buddha Gautama (Mahayana), serta pemuja Wisnu yang pendetanya adalah orang jaba bernama Sengguhu. Ida Gde Suamba juga menjelaskan bahwa catur warna (catur wangsa) di Bali perbedaannya tidak setegas yang terjadi di India. Malahan, sudah mengarah terjadinya pembauran antarwangsa dalam sebuah prosesi upacara. Selain identitas agama Hindu Bali tersebut, novel ini juga menjelaskan hubungan adat dengan agama Hindu. Terutama dalam persoalan hukum waris, antara adat dan agama tampaknya sudah menjadi satu kesatuan struktural di Bali sehingga agama menentukan kedudukan seseorang dalam sistem adat. Misalnya, dijelaskan dalam kasus tersebut bahwa perkara waris terjadi karena anak yang semestinya menjadi ahli waris sudah pindah ke agama Kristen.   
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa identitas agama Hindu di Bali dikonstruksi oleh berbagai macam sekte yang ada di Bali. Selain itu, juga sistem adat turut mengonstruksi sistem keagamaan di Bali sehingga antara adat dan agama merupakan dua fenomena dalam satu realitas. Penjelasan tentang agama Hindu Bali dalam novel tersebut tampaknya lebih mengedepankan pendekatan emik, daripada etik. Pendekatan ini berusaha memotret identitas agama Hindu di Bali sesuai dengan realitas yang muncul di masyarakat secara apa adanya. Selain itu, juga cerita ini menunjukkan cara orang Bali membangun citra agama Hindu Bali kepada orang lain melalui perbandingan yang rasional.

4.4  Realitas Kekerasan di Bali
Sukreni Gadis Bali merupakan karya sastra tragedi dalam kehidupan masyarakat Bali. Hal ini dapat dipahami dari inti cerita yang menguraikan kisah tragis Sukreni Gadis Bali. Menikmati masa kecil tanpa seorang ibu, dijual oleh ibunya sendiri, diperkosa, dan memiliki anak yang berandalan mewarnai kehidupan Sukreni. Selain itu, juga kronik kekerasan mewarnai seluruh rangkaian cerita, baik simbolik maupun fisik. Oleh karena itu, sisi kekerasan orang Bali merupakan realitas yang hendak diungkap dalam novel ini.
Kekerasan simbolik telah dialami Sukreni sejak masa kecilnya. Ia sama sekali tidak diberi ruang dan kesempatan oleh ayahnya untuk mengenali siapa ibunya. Simbol bahwa dalam masyarakat patriarki ayah memegang kendali utama dalam pengambilan keputusan keluarga. Hegemoni dan dominasi ayah telah menentukan takdir sosial Sukreni sehingga harus menerima status sebagai anak tanpa ibu. Tanpa disadari, kekerasan simbolis ini menorehkan warna kelam dalam kehidupan Sukreni kemudian. Andai saja Sukreni diberi kebebasan untuk mengenali ibunya, sejahat apapun sang ibu itu, mungkin pertemuan Sukreni dengan Men Negara akan menjadi pertemuan yang membahagiakan. Bukan sebaliknya, malah menjadi sebab derita yang dialami Sukreni. 
Bentuk kekerasan simbolik lainnya, juga dialami Ni Negari dan Sukreni dalam permainan kapitalisme Men Negara. Baik Ni Negari maupun Sukreni sama-sama menjadi objek pemuasan hasrat materialis Men Negara untuk mendapatkan penghasilan yang melimpah. Tubuh mereka menjadi komoditas untuk menarik hasrat laki-laki yang mengunjungi warungnya. Hal ini berterima dengan budaya patriarki yang memandang wanita sebagai subordinat sehingga kekerasan terhadap perempuan mendapatkan legitimasinya. Kekerasan simbolik ini tampak nyata dialami Ni Negari misalnya, dipaksa harus tetap tersenyum dan ramah, walaupun menerima perlakuan kurang menyenangkan dari kaum laki-laki yang mengunjungi warungnya. Malahan, juga dia harus memberikan pelayanan yang istimewa kepada Gusti Made Tusan, yakni orang yang sama sekali tidak dicintainya. Akibat lebih buruk, justru diterima Sukreni dengan terjadinya pemerkosaan yang menimpa dirinya.
Hal lain yang tidak kalah menarik dicermati dari novel ini adalah karakter kekerasan yang tertanam dalam diri orang Bali. Persaingan warung antara I Made Aseman dan Men Negara menjadi bukti betapa orang Bali memandang setiap kehadiran orang lain di ranah yang sama merupakan ancaman bagi eksistensi. Ini memupuk rasa dendam, kebencian, dan berujung pada munculnya tindakan kekerasan untuk menghilangkan eksistensi yang lain dengan segala cara. Gejala ini dapat direfleksikan dalam konteks kekinian bahwa sifat-sifat iri hati dan dengki mewarnai kehidupan antar-pedagang lokal Bali dalam kerangka persaingan yang tidak sehat. Dalam wacana sehari-hari orang Bali, kerapkali terdengar ungkapan “pasti ia bisa ngeleak” (pasti dia bisa ilmu hitam/pangleakan), apabila melihat warung seseorang ramai dikunjungi pelanggan.
Puncak dari karakter kekerasan orang Bali semakin tergambar dari cerita tentang pencurian, perampokan, dan premanisme yang diwakili oleh tokoh Gustam. Kondisi Bali yang kacau secamam ini merupakan realitas sosial yang ditampilkan oleh Panji Tisna dalam novel ini. Boleh jadi, realitas inilah yang mendasari pernyataan Vikers (1989) bahwa Bali adalah pulau pencuri dan pembunuh. Ruang kritik sesungguhnya masih terbuka terhadap pernyataan ini karena mewakili pemikiran kolonial. Semangat puputan yang dimiliki masyarakat Bali mungkin menjadi bentuk perlawanan yang menakutkan bagi pemerintah kolonial Belanda sehingga ia mengatakan orang Bali gemar berperang. Akan tetapi, juga tidak tertutup kemungkinan bahwa ini merupakan realitas yang nyata terjadi pada masa itu. Terlepas dari perbedaan kedua pandangan ini, jelas bahwa orang Bali memiliki karakter yang keras dan berani mati demi harga diri dan kehormatannya.
     
5.     Penutup
Berdasarkan uraian tersebut di atas, ternyata novel Sukreni Gadis Bali mengungkap begitu banyak problematika identitas Bali di masa kolonial. Identitas ini timbul dan tenggelam dalam keseluruhan narasi dan membangun pluralitas makna yang terpendar dari lampu sorot Derridean. Dengan mengungkap narasi-narasi kecil dari keseluruhan cerita ditemukan bahwa (a) identitas orang Bali merupakan hasil konstruksi yang bersifat cair (fluid); (b) identitas Bali ditandai dengan hegemoni dan dominasi budaya patriarki; (c) identitas Hindu Bali merupakan sesuatu yang unik dan khas; serta (d) orang Bali mewarisi karakter kekerasan, baik simbolik maupun fisik. Temuan ini tidak hanya dimaksudkan untuk membongkar makna dari novel Sukreni Gadis Bali, tetapi lebih jauh dapat dijadikan refleksi dalam menata kehidupan kekinian. Dengan demikian, Sukreni Gadis Bali menjadi wacana pencerahan bagi orang Bali masa kini untuk menata identitasnya yang tidak pernah final.

6.     Daftar Kepustakaan

Adian, Donny Gahral. 2006. Percik Pemikiran Kontemporer Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.

Al-Fayyadl, Muhammad. 2005. Derrida. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara.

Audifax. 2007. Semiotika Tuhan: Tafsir Atas Pembacaan Manusia Terhadap Tuhan. Yogyakarta: Pinus Book Publisher.

Bashin, K. 1994. Menggugat Patriarki Pengantar Tentang Persoalan Dominasi terhadap Kaum Perempuan. Yogyakarta: Bentang Budaya.

Barker, Chris. 2000. Culture Studies Teori dan Praktek. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Cavallaro, Dani. 2004. Critical and Cultural Theory: Teori Kritis dan Teori Budaya. Yogyakarta: Niagara.

Couteau, Jean. 1999. Museum Puri Lukisan. Ubud: Yayasan Ratna Wartha.

Dagun, M. 1990. Filsafat Eksistensialisme. Bandung: Mizan

Faruk. 2003. Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturalisme Genetik sampai Post-Modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Giddens, Anthony. 1991. Modernity and Self-Identity. Cambridge: Polity Press,

Liliweri, Prof. Dr. Alo, M.S. 2005. Prasangka dan Konflik, Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur. Yogyakarta: LkiS.

Mantra, Ida Bagus. 1994. Landasan Kebudayaan Bali. Denpasar: Yayasan Dharma Sastra.

Maunati, Yekti. 2004. Identitas Dayak, Komodifikasi dan Politik Kebudayaan. Yogyakarta: LkiS.

Picard, Michel. 1997. “Cultural Tourism, Nation Building, and Regional Culture: The Making of an Identity”, in Tourism, Etnichity, and State in Asian and Pasific Societies. Michel Picard & Robert E. Wood (eds), Honolulu: University of Hawaii Press.

Piliang, Yasraf Amir. 1998. Dunia yang Dilipat Realitas Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya Posmodernisme. Bandung: Mizan.

Pradopo, Rachmad Joko. 2003. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Segers. Rien T. 2000. Evolusi Teks Sastra. Yogyakarta: Adicitra.

Storey, John. 2007. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop. Yogyakarta: Jalasutra.

Stturock, John. 2007. Dari Strukturalisme ke Poststrukturalisme. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara.

Sugiharto, I. Bambang. 1996. Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.

Sutrisno, Mudji & Hendar Putranto. 2004. Hermeneutika Pascakolonial. Yogyakarta: Kanisius.

Tim Penyusun. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: DepdiknasBalai Pustaka.

Tisna, A.A. Pandji. 1964. Sukreni Gadis Bali. Jakarta: Balai Pustaka.

Vikers, Adrian. 1989. Bali a Paradise Created. Berkeley-Singapore: Periplus Edition.

ZAMAN EDAN RONGGOWARSITO

DEKONSTRUKSI SASMITA ZAMAN EDAN RANGGAWARSITA:
KAJIAN SEMIOTIKA

Oleh
Nanang Sutrisno

1.     Pendahuluan
Ranggawarsita adalah pujangga besar tanah Jawa abad ke-19. Pemilik nama lengkap Raden Mas Ngabehi Ranggawarsita ini lahir dengan nama kecil Bagus Burhan di Kampung Yasadipuran Surakarta, pada tanggal 15 Maret 1802 (Purwadi, 2003:105). Darah pujangga telah mengalir dalam dirinya karena kakek-buyutnya yaitu, R.Ng. Yasadipura I adalah pujangga besar Jawa abad ke-18 (Mulyanto, dkk., 1990). Kebesaran Ranggawarsita sebagai pujangga dapat dilihat dari produktivitasnya dalam berkarya dan kualitas karya-karyanya. Sekurang-kurangnya, Partokusumo mencatat sebanyak 50 judul, sedangkan Anjar Any mencatat 56 judul karya Ranggawarsita (Purwadi, 2003:161). Pemikiran filsafat, ilmu, sosial, politik dan kekuasan, kebatinan, mistik, serta ramalan zaman mewarnai karya-karyanya, sekaligus menegaskan keberadaannya sebagai seorang pujangga besar. Serat Pustaka Raja, Serat Jaka Ledhung, Wirid Hidayat Jati, Serat Kalatidha, Serat Aji Dharma, Serat Cemporet, Serat Paramayoga, Suluk Saloka Jiwa, dan Serat Jayabaya, adalah sebagian kecil dari karya-karyanya yang cukup populer bagi masyarakat Jawa, khususnya para penggiat sastra Jawa (Purwadi, 2003:149-162).
Ramalan menjadi salah satu keunggulan dari karya-karya Ranggawarsita. Dikatakan unggul karena ramalannya seringkali bersesuaian dengan dengan fenomena alam dan sosial yang terjadi. Salah satu karya Ranggawarsita yang mungkin paling terkenal adalah Serat Kalatidha. Karya ini menguraikan ramalan Ranggawarsita mengenai tanda-tanda (sasmita) zaman edan atau zaman Kalatidha (Purwadi, 2003:215). Sebuah gambaran zaman yang penuh kekacauan, baik-buruk begitu sumir, orang baik tersingkir, sebaliknya orang jahat menjadi penguasa. Ini merupakan petanda zaman yang tidak dapat dihindari oleh siapapun karena telah menjadi bagian dari siklus waktu. Menyikapi hal ini, Ranggawarsita mengingatkan manusia agar tidak larut dalam situasi tersebut. Salah satunya dengan bercermin pada kearifan masa lalu untuk memahami kembali arti baik-buruk sehingga dapat dijadikan pedoman hidup pada zaman sekarang, yaitu tetap eling dan waspada.
Sasmita zaman edan adalah ramalan. Sebagian pihak memandang bahwa kemampuan Ranggawarsita meramal dengan tepat adalah bersumber dari pengetahuan mistisnya, tetapi sebagian yang lain memandangnya sebagai kerja rasionalitas belaka. Pandangan pertama, yang mengarah pada mistifikasi karya sastra dan pengultusan pujangga dapat mengakibatkan mandegnya kerja analitis-kritis karena pikiran dan kesadaran telah difinalkan pada kepercayaan. Mengingat kepercayaan menjadi salah satu ukuran dari kebenaran mistis (Tafsir, 2006:121). Kehadiran Ranggawarsita, bahkan menjadi lebih penting daripada teks yang ditulis karena kepercayaan yang berlebihan pada keunggulan batin sang pujangga. Sebaliknya, pandangan kedua juga, dapat melahirkan jebakan pada positivisme yang memandang teks ini hanya ditulis sebagai bentuk penilaian (judgement), pernyataan (proposition), dan representasi (representation) sang pujangga sebagai sesuatu yang objektif untuk menampilkan realitas apa adanya (Al-Fayyadl, 2005:30). Dengan kata lain, teks ini dipandang tidak memiliki keistimewaan apapun karena realitas zaman edan dan zaman keemasan merupakan potret sosial yang menyejarah. Oleh karena itu, munculnya zaman edan dapat dipandang sebagai perulangan peristiwa sejarah yang lumrah terjadi dalam kehidupan. Kedua pandangan ini boleh jadi benar, tetapi tidak dapat memuaskan semua pihak. Dengan demikian ‘ramalan’ tersebut harus dikembalikan pada kenyataan asalinya sebagai teks, guna mengatasi mistisisme dan positivisme yang membayanginya.
Mengembalikan ramalan tersebut sebagai teks mensyaratkan adanya keberanian membebaskannya dari otoritas sang author. Kata ‘pengarang’ sebagai terjemahan dari kata “author” dalam bahasa Inggris ini, tampaknya kurang tepat digunakan di sini. Mengingat dari kata author juga, kata “authority” berasal, sehingga otoritas pengarang selalu melekat pada karyanya. Sebaliknya, kata ‘pujangga’ yang umumnya disandangkan pada pencipta karya sastra jauh lebih bebas dari problem otoritas. Pada kenyataannya memang tidak sedikit karya-karya besar dan monumental di Jawa lahir dari pujangga yang menyandikan nama terangnya atau bahkan anonimus sama sekali. Maka dari itu, Ranggawarsita lebih tepat disebut pujangga, ketimbang seorang pengarang. Artinya, begitu teks Serat Kalatidha ditulis dan beredar, tidak ada otoritas dan pembawa wibawa yang dapat menentukan mana tafsir yang benar tentang teks itu (Mohamad, dalam Al-Fayyadl, 2005:xii).
Jargon “the dead of author” yang dipopulerkan Roland Barthes adalah maksud dari semua ini. Walaupun demikian, Derrida tidak menerima begitu saja pandangan Barthes tentang kematian sang pujangga. Menurut Derrida, sang pujangga tidak benar-benar mati, melainkan muncul dan lenyap dalam teks yang ditulisnya (Mohamad, dalam Al-Fayyadl, 2005:xii). Derrida sesungguhnya ingin mengatakan bahwa teks itu hidup terus (survivre) mengatasi atau melampui kehadiran. Ranggawarsita muncul dan lenyap dalam teks yang ditulis bukanlah sebagai wujud kehadiran, tetapi “nama sebuah masalah”, seperti halnya teks itu sendiri. Dengan demikian sasmita (tanda-tanda) zaman edan adalah teks yang terbuka untuk ditafsirkan, sekaligus menolak adanya ketunggalan makna. Ranggawarsita, di sini dan saat ini, adalah pujangga masa lalu yang hidup di masa depan. Artinya, walaupun ia telah menulis Serat Kalatidha tersebut pada masa lalu, tetapi ia selalu muncul dan lenyap dalam teks yang ditulisnya tersebut.
Serat Kalatidha adalah karya sastra yang dicipta Ranggawarsita untuk menjelaskan zaman edan dalam bentuk tanda-tanda (sasmita). Oleh karena itu karya sastra ini dapat dipahami maknanya sesuai dengan konvensi ketandaan, yaitu kajian utama dalam analisis semiotika. Dalam analisis semiotika, segala sesuatu dapat dijabarkan sebagai bahasa. Bahasa pada prinsipnya merupakan perangkat yang didasarkan pada konvensi sosial. Dalam penggunaan sehari-hari, bahasa tidak dapat dilepaskan dari sistem pemaknaan tertentu yang dipakai untuk menunjukkan suatu realitas. Tanpa sistem pemaknaan ini, tidak mungkin terjadi komunikasi antarsesama individu. Sistem inilah yang disebut “tanda”. Menurut Saussure, bahasa (langue) adalah khasanah tanda (lexicon of signification) (Sturrock, 2007:6). Bahasa bukanlah sekadar kata-kata, melainkan juga semesta tanda. Tanda membentuk kode-kode yang melestarikan fungsi bahasa (Sturrock, 2007:7). Jadi, semiotika merupakan perluasan jangkauan (ekstensi) dari terma linguistik yang memandang bahasa adalah sistem tanda (Audifax, 2007:21). Karya sastra merupakan sistem semiotik tingkat kedua yang menggunakan bahasa sebagai bahan semiotik tingkat pertama (Pradopo, 2003:108). Disebut semiotik tingkat kedua atau jenis bahasa sekunder (Segers, 2000:14), karena karya sastra dengan petandanya seperti, metafora, konotasi, dan ciri-ciri penafsiran ganda lainnya bukanlah bahasa biasa, melainkan sistem komunikasi yang telah sarat dengan pesan kebudayaan (Ratna, 2004:111).
Penggunaan metafor, baik dalam karya sastra maupun percakapan sehari-hari sesungguhnya telah cukup familiar dalam masyarakat Jawa. Bagi orang Jawa setiap kata bukanlah sekadar ucapan “uni”, melainkan ungkapan “unen-unen”. Oleh karena itu, metafor merupakan inti dari ungkapan Jawa. Ungkapan Jawa umumnya memiliki sifat, (a) menggunakan kata atau kalimat yang unik; (b) mengandung kebijaksanaan hidup; (c) menggambarkan tindakan manusia; dan (d) menggunakan kiasan (Endraswara, 2005:21). Ungkapan ini lahir dari sari-sari pengalaman yang panjang, sekaligus endapan kesadaran kolektif penggunanya (Danandjaja, 1989:28). Dengan menggunakan cara kerja semiotika, tanda-tanda (sasmita) zaman edan yang ditulis Ranggawarsita dalam Serat Kalatidha ditelusuri maknanya. 

2.     Dari Metafor ke Dekonstruksi
Pembalikan ke arah bahasa (linguistic turn) adalah gejala dominan di era posmodern. Filsafat modern yang masih berbicara tentang “kesadaran”, “akal”, “roh”, dan “pengalaman” mulai ditinggalkan, dan filsafat telah beralih kepada “bahasa”. Pengaruhnya dapat dibuktikan dengan semakin berkembangnya semiologi atau semiotika, hermeneutika, filsafat analitik, teori speech act, dan analisis wacana (Sugiharto, 1996:79). Sementara itu, untuk memahami hubungan antara posmodernisme dan “pembalikan ke arah bahasa” menjadi jelas dengan munculnya kecenderungan pada pembicaraan tentang “metafor” (Sugiharto, 1996:80). Lebih lanjut, Sugiharto (1996:80) menjelaskan bahwa pentingnya metafor bukan terletak pada fungsi deskriptif bahasa, melainkan fungsi transformatifnya. Apabila bahasa adalah semesta tanda, maka metafor merupakan inti bahasa. Dengan demikian ‘metafor’ menjadi konsep penting dalam semiotika poststrukturalis.
Semiotika umumnya didefinisikan adalah ilmu yang memelajari tentang tanda. Ada dua tokoh penting yang perlu dikenal ketika berbicara semiotika atau semiologi, yaitu Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Peirce. Merekalah yang meletakkan dasar pemikiran yang menjadi landasan pengembangan semiotika. Dalam perkembangan lebih lanjut, semiotika dipengaruhi oleh pemikiran strukturalisme dan psotstrukturalisme melalui tokoh-tokoh seperti, Claude Levi Strauss, Louis Althusser, Jacques Lacan, Michel Foucoult, Jacques Derrida, Julia Kristeva, Gilles Deleuze, Felix Guattari, Umberto Eco, hingga Zlavoj Zizek (Budiman, 2004:4).
Saussure menjelaskan semiologi adalah ilmu umum tentang tanda, sedangkan Pierce berpendapat bahwa semiotika merupakan bentuk lain dari logika, yakni doktrin formal bagi tanda-tanda (Audifax, 2007:18). Saussure mengembangkan semiologi berdasarkan prinsip diadik, entitas dua sisi (dyad) (Audifax, 2007:26; Yasa, 2010:18). Bahasa adalah sistem tanda yang merupakan kesatuan antara signifiant dan signifie (Yasa, 2010:18). Signifiant adalah penanda, yaitu citra akustik, aspek formal atau bentuk tanda itu. Sebaliknya, signifie adalah petanda, yaitu konsep atau citraan mental, aspek makna atau konseptual dari penanda (Cavallaro, 2004:30; Al-Fayyadl, 2005:37; Audifax, 2007:26; Yasa, 2010:18). Kedua aspek ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain (Teeuw, 1984:44, 56; Endraswara, 2003:64; Yasa, 2010:18).
Sementara itu, Peirce mengusulkan istilah semiotics ‘semiotika’ sebagai sinonom dari logika, yaitu bagaimana orang bernalar (Yasa, 2009:19), atau bentuk formal bagi tanda-tanda (Audifax, 2007:18). Untuk itu Peirce mengembangkan prinsip triadik. Ia menyatakan bahwa ada tiga faktor yang menentukan adanya tanda, yaitu tanda itu sendiri, hal yang ditandai, dan sebuah tanda baru yang terjadi dalam batin si penerima tanda. Antara tanda dan yang ditandai akan melahirkan interpretasi di benak penerima (Yasa, 2010:19). Berdasarkan hubungan antara tanda dan yang ditandai, Peirce membedakan tanda menjadi tiga jenis: (1) ikon, yaitu tanda yang secara inheren memiliki kesamaan dengan arti yang ditunjuk atau hubungan kemiripan; (2) indeks, yaitu tanda yang mengandung hubungan kausal dengan apa yang ditandai atau hubungan eksistensi; dan (3) simbol, yaitu tanda yang memiliki hubungan makna dengan yang ditandai atau hubungan secara konvensional (Nurgiyantoro, dalam Yasa, 2010:19).
Semiotisian membedakan antara denotasi dan konotasi, terma yang menjabarkan relasi antara tanda dan referennya. Denotasi mengarah pada paparan defisional atau pemaknaan “literal” tanda, sedangkan konotasi merujuk pada sosio-kultural dan asosiasi personal (ideologi, emosi, dan sebagainya) (Chandler, dalam Audifax, 2007:33). Dalam filsafat bahasa, kedua relasi tanda ini menjadi perdebatan menarik. Pertama, kelompok yang beranggapan bahwa filsafat wajib menggunakan bahasa denotatif-literal. Di sini, metafor disisihkan, diremehkan, dan dianggap illusoris. Pandangan ini terutama bertolak dari pandangan Aristoteles yang disebutnya logos apophanticos, yaitu proposisi-proposisi logis. Dikatakan bahwa proposisi logis haruslah berasal dari identitas asli, jika sesuatu itu “A” maka tidak mungkin ia sekaligus “bukan A” (Sugiharto, 1996:122). Kedua, kelompok yang beranggapan bahwa filsafat murni, justru yang metaforis, bukan literal. Kelompok ini terutama merujuk pada pemikiran Nietzhe bahwa dasar kegiatan berbahasa dan berpikir tiada lain adalah kegiatan bermetafor (Sugiharto, 1996:128). Ketiga, kelompok yang beranggapan bahwa, baik bahasa literal maupun metafor mempunyai fungsinya sendiri-sendiri yang unik. Ini adalah posisi yang diambil Paul Ricoeur bahwa kendati memang terdapat hubungan intim antara wacana puitik atau ungkapan metaforis dengan wacana filosofis spekulatif, toh wacana filosofis memiliki kekhasan dan otonomi sendiri. Jadi, pentinglah untuk melihat bahwa pada prinsipnya terdapat diskontinuitas  (antara filsafat dan metafor) yang mendasari otonomi wacana filosofis (Sugiharto, 1996:138).
Kerja Ricoeur dalam menggeluti persoalan metafor ini telah memberikan sumbangan yang mencengangkan dalam perkembangan filsafat bahasa. Ricoeur memberikan cara untuk mengungkap nilai metafor dengan tidak melihat metafor dari sudut “kata”, melainkan dari sudut “pernyataan”, bahkan lebih jauh lagi dari sudut “diskursus” atau keseluruhan wacana (Sugiharto, 1996:104). Dengan sendirinya ia telah bergerak dari wilayah semiotika kata (tanda) ke arah semantika makna kalimat. Suatu kalimat adalah unit wacana. Ricoeur menyatakan bahwa wacana sastra sebetulnya “maknanya adalah struktur karya itu, sedangkan acuannya adalah ‘dunia’ yang ditampilkan oleh karya itu”. Dari sinilah lantas, hermeneutik adalah teori yang mengatur transisi dari struktur karya tadi ke ‘dunia’ yang ditampilkannya. Oleh karena itu, menafsirkan suatu karya sastra berarti memajang ‘dunia’ yang diacu oleh karya itu, melalui bentuk penataan, genre (kodifikasi khas), dan gaya penulisannya (Sugiharto, 1996:105). Dengan demikian metafor adalah suatu bentuk wacana yang bersifat retorik yang memungkinkan terjadinya redeskripsi kenyataan – suatu kekuatan yang terutama dimiliki oleh karya-karya fiksi atau sastra.
Sejalan dengan hal tersebut, Yasa (2010:19) menjelaskan bahwa karya sastra merupakan aktivitas bahasa yang tidak langsung dan bersifat hypogramik. Aktivitas dimaksud bersifat dialektik antara teks dan pembaca; dan dialektik antara tataran mimetik dan tataran semiotik. Lebih lanjut, Riffetere (dalam Yasa, 2010:20) mengusulkan dua istilah yang perlu dibedakan dalam pemaknaan pusi, yaitu meaning “arti” dan significance “makna”. Dari segi arti, teks puisi merupakan satuan informasi yang berturut-turut, yang dikonvensikan oleh teks pada tataran mimetik. Sementara itu, dari segi makna teks puisi merupakan satu kesatuan semantik. Artinya, pembaca sebagai pemberi makna harus mulai dari pembacaan heuristik, yakni pembacaan berdasarkan kompetensi linguistik untuk menemukan arti. Kemudian, melanjutkan analisis dengan hermeneutik, yakni pembacaan struktural berdasarkan kompetensi sastra untuk menemukan pusat makna. Sampai di sini, pembacaan heuristik dan hermeneutik telah menjadi metode analisis semiotika untuk mendapatkan arti dan makna sebuah karya sastra, dalam hubungan petanda dalam penanda.
Dalam perkembangan berikutnya, masalah dalam semiotika justru bergulat pada konsep makna tanda (significance) itu sendiri. Malahan, hermeneutika yang semula menjadi salah satu cara kerja semiotika berkembang menjadi ilmu tersendiri dengan cara kerja yang khas pula. Freidrich Daniel Ernst Schleiermacher, Wilhelm Dilthey, Hans-Georg Gadamer, Paul Ricoeur, Martin Heiddiger, dan Pierre Derrida, adalah nama-nama yang menghiasi inklinasi mazhab hermeneutika. Persoalan dalam hermeneutik terutama berpusat pada hubungan pengarang (author) dengan teks dan interpretan (Gadamer, 2006). Masalah ini juga, menjadi persoalan penting dalam perkembangan teori semiotika, dari strukturalisme hingga prostrukturalisme.
Semiotika strukturalis Saussurean misalnya, menyatakan bahwa konsep (petanda) tidak memiliki makna apa-apa dalam dirinya sendiri. Petanda hanya akan memeroleh maknanya hanya dalam relasi keberbedaannya. Bagi semua tujuan praktis, relasi yang paling penting di atas semua terma adalah relasi oposisi biner. Seperti misalnya, laki-laki memeroleh makna karena adanya perempuan; dan suami memeroleh makna karena adanya istri (Arthur, dalam Audifax, 2007:28). Ini menegaskan pandangan strukturalis bahwa makna teks lahir dari relasi yang hierarkis dan oposisional. Relasi ini mengisyaratkan teks memiliki makna yang tunggal karena makna itu hadir dengan menidakkan yang lain.
Derrida tidak bersepakat dengan ini karena perbedaan tidak selalu mengisyaratkan hierarkis (yang satu lebih unggul daripada yang lain) dan beroposisi (ada yang satu, menidakkan yang lain). Derrida memberikan contoh sederhana tentang perbedaan hitam dan putih. Kategori hitam tidak hanya dipakai untuk membedakan dengan yang putih, atau menidakkan yang putih karena dapat dibuat kategori yang lain misalnya, abu-abu. Dengan adanya kategori abu-abu (yang lain, ‘the others’), kedua kategori sebelumnya tetap seperti sediakala. Oleh karena itu, usaha logos untuk merengkuh kebenaran dalam totalitasnya dengan menepikan perbedaan-perbedaan yang implisit dalam totalitas itu hanyalah ilusi. Kebenaran tidak bisa ditemukan di luar sistem diferensial yang membentuk bahasa, kebenaran tidak tampil dalam ruang hampa, melainkan dirajut dari relasi rumit yang sambung menyambung di dalam tubuh bahasa (Al-Fayyadl, 2005:76).
Derrida meradikalkan pengertian teks sebagai pembebasan terhadap logika dan kategori metafisika yang bersifat hierarkis dan oposisional. Teks merupakan perlawanan terhadap pusat yang secara ontologis diyakini sebagai makna atau kebenaran yang intrinsik dalam satu hal. Teks menetralkan pusat-pusat penandaan melalui diferensialitas tanda. Lantaran aspek diferensialitasnya, operasi dan cara kerja teks selalu bersifat diseminatif karena tanda-tanda yang termuat dalam sebuah teks menyebar dan berhubungan dengan teks-teks yang lain. Dalam rangkaian intertekstualitas, tidak ada lagi kebenaran atau makna yang otonom. Kebenaran dibentuk dari teks, ditemukan dalam teks, diinvensi, dan direkayasa dalam teks (Al-Fayyadl, 2005:76-77). Seperti halnya Foucoult, Derrida menekankan diskontinuitas diskursif dalam sebuah teks yang memugar tatanan-tatanan yang stabil dengan menekankan penyebaran tanda-tanda secara produktif (diseminasi). Dalam strukturalisme, penekanan pada struktur telah mengabaikan potensi tanda dalam menciptakan kemungkinan-kemungkinan yang tidak terpikirkan dari teks. Padahal, struktur yang terlihat koheren dan stabil juga dikonstruksi melalui permainan tanda (jeu) yang tidak mungkin difiksasi ke dalam satu pusat atau makna tunggal (Al-Fayyadl, 2005:78).
Diseminasi menyajikan sebuah strategi unik yang memperlihatkan betapa nyaris tidak mungkinnya menangkap makna, kecuali memanfaatkan teks sebagai arena permainan yang terus menerus ditransformasi dengan mensubstitusi penanda-penanda lama dengan penanda-penanda baru. Dengan mempermainkan tanda, maka petanda yang hendak disimpulkan dari sebuah teks dengan sendirinya tertunda (Al-Fayyadl, 2005:79). Diseminasi tanda menjadikan teks layaknya sebuah labirin dengan kaca-kaca yang saling memantulkan bayangan, tanpa arah yang jelas ke mana jalan itu menuju. Memasuki teks, tak ubahnya seperti diterlantarkan untuk mencari sendiri marka jalan yang dapat dijadikan pegangan (Al-Fayyadl, 2005:79). Operasi teks dan diseminasi tanda adalah konsekuensi langsung dari pembacaan dekonstruktif. Menurut Johnson, dekonstruksi adalah strategi mengurai teks. Istilah “de-konstruksi” sebenarnya lebih dekat dengan etimologis dari kata ‘analisis’, yang berarti mengurai, melepaskan, membuka (Al-Fayyadl, 2005:79; Audifax, 2007:46). Kedekatan etimologis ini menunjukkan bahwa dekonstruksi lebih dimaksudkan sebagai strategi mengurai struktur dan medan pemaknaan dalam teks, ketimbang operasi untuk merusak teks itu sendiri. Dengan demikian, jika sebuah teks didekonstruksi, bukanlah makna yang dihancurkan. Akan tetapi klaim bahwa satu bentuk pemaknaan teks lebih benar ketimbang pemaknaan lain yang berbeda (Al-Fayyadl, 2005:80).
Dekonstruksi bisa dikatakan salah satu bentuk strategi literer terhadap teks-teks filsafat. Serangan nyata dari kebenaran metaforis terhadap konstruksi filsafat yang cenderung bersifat literal. Penjungkirbalikan gaya berpikir logosentris yang biasa ditemukan dalam teks-teks filsafat, dan menjadikan teks-teks filsafat tak ubahnya sebagai teks sastra. Ikhtiar Derrida terutama adalah mempertanyakan kembali klaim filsafat bahwa sebuah teks memiliki makna yang univokal dan tidak menyertakan sedikit pun ambiguitas di dalamnya. Dekonstruksi menggugat modus pemaknaan yang terpusat dan cenderung bulat seperti yang mungkin diinginkan oleh teks. Dalam dekonstruksi, makna lebih dialami sebagai proses dari penafsiran, dan bukan hasil yang sudah jadi dan dapat dinikmati begitu saja. Makna ada di balik layar, tetapi wujudnya bukan kehadiran, melainkan proses menjadi yang terus menerus menunda pengertian yang dirasakan memadai dan menggantikannya dengan penanda-penanda baru yang lebih terbuka dan ambigu (Al-Fayyadl, 2005:82).
Membaca teks sastra adalah membaca metafor sebagai inti bahasanya. Metafor adalah permainan bahasa (language game) yang tidak sungguh-sungguh memaksudkan apa yang jelas-jelas dikatakannya. Makna sebuah metafor mengatasi dirinya sendiri dan membimbing ke sesuatu yang justru tidak dikatakannya. Menurut Derrida, makna selalu bersifat differance, seperti hantu yang bermain antara ada dan tiada; keberadaannya adalah ketiadaannya, dan ketiadaannya adalah keberadaannya. Difference membayangi setiap teks dengan kemungkinan-kemungkinan lain yang menawarkan kejutan, tak terduga, dan cukup membuat cemas karena seolah-olah teks kehilangan makna (Al-Fayyadl, 2005:88).
3.     Sasmita Zaman Edan dalam Serat Kalatidha
Sasmita (tanda-tanda) zaman edan merupakan salah satu “ramalan” pujangga Ranggawarsita yang mungkin paling populer bagi masyarakat Jawa khususnya. Ramalan ini dirajut dalam sebuah karya sastra berbentuk puisi yang diikat oleh metrum tembang Sinom, dan diberi nama Serat Kalatidha. Layaknya karya sastra puisi lainnya, tanda-tanda zaman edan dilukiskan dalam pernyataan-pernyataan metaforis sehingga diperlukan pembacaan ulang untuk mendapatkan maknanya. Berikut ini akan diketengahkan Serat Kalatidha yang dikutip dari buku “Sosiologi Mistik R.Ng. Ranggawarsita” oleh Purwadi (2003: 216-222). Walaupun demikian, pembacaan tingkat pertama (heuristik) dilakukan sendiri oleh penulis untuk menemukan arti literal (meaning) dari teks tersebut, seperti berikut.
Serat Kalatidha
Sinom

1.









2.









3.









4.










5.









6.









7.










8.










9.









10.










11.









12.



Mangkya darajating praja,
kawuryan wus sunyaruri,
rurah pangerehing ukara,
karana tanpa palupi,
atilar silastuti,
sujana sarjana kelu,
kalulun kala tida,
tidhem tandaning dumadi,
ardayengrat dene karoban rubeda.

Ratune ratu utama,
patihe patih linuwih,
pra nayaka tyas raharja,
panekare becik-becik,
parandene tan dadi,
paliyasing kala bendu,
mandar mangkin andara,
rubeda angrebedi,
beda-beda ardaning wong saknegara.

Katetangi tangisira,
sira Sang Paramengkawi,
kawileting tyas duhkita,
katamen ing ren wirangi,
dening upaya sandi,
samurana angrawung,
mangimur manuhara,
meh pamrih melik pikolih,
temah suka ing karsa tanpa wiweka.


Dasar karoban pawarta,
beberatun ujar lamis,
pinudya dadya pangarsa,
wekasan malah kawuri,
yan pinikir sayekti,
mundhak apa aneng ngayun,
andhedher kaluputan,
siniraman banyu lali,
lamun tuwuh dadi kekembanging beka.


Ujaring panitisastra,
awewarah asung peling,
ing jaman kening musibat,
wong ambeg jatmika kontit,
mengkono yen niteni,
pedah apa amituhu,
pawarta lolawara,
mundhak angreretna ati,
angurbaya angiket cariteng kuna.

Keni kinarya darsana,
panglambang ala lan becik,
sayekti akeh kewala,
lelakon kang dadi tamsil,
masalahing ngaurip,
wahananira tinemu,
temahan anarima,
mupus papesthineng takdir,
puluh-puluh anglakoni kaelokan.

Amenangi jaman edan,
ewuh aya ing pambudi,
milu edan nora tahan,
yen tan milu anglakoni,
boya kaduman melik,
keliren wekasanipun,
ndilalah karsa Allah,
sabegja-begjaning kang lali,
luwih begja kang eling lan waspada.


Semana iku bebasan,
padu-padune kepingin,
enggih mekaten man doblang,
bener ingkang angarani,
nanging sajroning batin,
sejatine nyamut-nyamut,
wis tuwa arep apa,
muhung mahas ing asepi,
supayantuk pangaksamaning hyang suksma.

Beda lan kang wus santosa,
kinarilah ing Hyang Widhi,
satiba malanganeya,
tan susah ngupaya kasil,
saking mangunah prapti,
pangeran paring pitulung,
marga samaning titah,
rupa sabarang pakolih,
parandene maksih taberi ikthiyar.

Sakadare linakonan,
mung tumindak marga ati,
angger tan dadi prakara,
karana riwayat muni,
ikhtiyar iku yekti,
pamilihing reh rahayu,
sinambi budidaya,
kanti awas lan eling,
kanti kaesthi antuka parmaning suksma.

Ya Allah ya Rasullulah,
kang sipat murah lan asih,
mugi-mugi aparinga,
pitulung ingkang martani,
ing alam awal akhir,
dumununging gesang ulun,
mangkya sampun awredha,
ing wekasan kadi pundi,
mula mugi wontena pitulung tuwan.

Sageda sabar santosa,
mati sajeroning urip,
kalis ing reh aruhara,
murka angkara sumingkir,
tarlen meleng malat sih,
sanityasing tyas mematuh,
badharing sapudendha,
antuk mayar sawetawis,
borong angga sawarga mesi martaya.

Beginilah keadaan negara saat ini,
kewibawaan sudah kosong melompong,
sulit digambarkan dengan kata-kata,
karena tidak ada lagi yang bisa jadi teladan,
semua telah meninggalkan susila,
para cendikiawan demikian juga,
semua ikut arus zaman Kalatida,
suasananya mencekam,
dunia penuh dengan kekacauan.

Rajanya, raja yang utama,
patihnya juga patih yang hebat,
semua pegawainya juga berhati baik,
pemuka masyarakat juga baik-baik,
tapi semua tidak bisa menciptakan kebaikan,
karena pengaruh zaman Kalabendhu,
malah semakin menjadi-jadi,
kekacauan yang terjadi,
berbeda-beda kehendak orang senegara.

Membuncahlah tangisnya,
seorang Kawi-Wiku yang utama,
diliputi pikiran berduka,
mendapat hinaan dan malu,
karena ulah manusia yang samar-samar,
semuanya tidak jelas,
seolah-olah melakukan kebaikan,
tapi hanya pamrih untuk mendapat sesuatu,
menuruti kehendak dan kesenangan
nafsu tanpa kebijaksanaan.

Dasarnya hanyalah kabar berita,
mempercayai cerita bohong,
dipercaya menjadi pemimpin,
akhirnya malah tidak menentu,
kalau dipikirkan benar-benar,
apa sih gunanya menjadi pemimpin,
kalau hanya menanam benih kesalahan,
apalagi disiram dengan air lupa,
kalaupun tumbuh hanya akan jadi bunga bangkai.


Menurut Panitisastra,
sebenarnya sudah ada peringatan,
di zaman yang penuh kekacauan,
orang yang berbudi tidak terpakai,
demikianlah kalau kita perhatikan,
apa faedah yang sebenaranya,
berita burung yang tidak jelas,
hanya akan menyusahkan hati,
lebih baik membuat cerita kuna.

Yang bisa dijadikan sesuluh,
perlambang baik dan buruk,
sesungguhnya banyak juga,
peristiwa yang bisa dijadikan teladan,
mengenai persoalan kehidupan,
sarana pemecahannya juga ditemukan,
kalaupun mau diterima,
menyerahkan diri pada putusan takdir,
tetap teguh melaksanakan kebaikan.

(apalagi) hidup di zaman edan,
memang sulit menentukan sikap,
ikut gila tidak tahan,
(tetapi) kalau tidak ikut melakukan,
tidak akan mendapatkan bagian apa-apa,
kelaparan pada akhirnya,
untungnya atas kehendak Tuhan,
seberuntung-beruntungnya orang yang lupa,
masih lebih beruntung orang yang ingat dan waspada.


Semua itu hanya kiasan,
padahal sesungguhnya juga kepingin,
benar begitu Paman Doblang?
benar bagi yang mengatakan,
tapi di dalam batin,
sesungguhnya juga kacau,
sudah tua mau apa?
hanya bisa menyepikan diri,
supaya mendapatkan ampunan dari Tuhan.

Beda dengan yang hidupnya sentosa,
yang mendapat anugerah Tuhan, 
sejatuh-jatuhnya dan semalang-malangnya,
tidak susah mendapatkan hasil,
dari segala yang dilakukan,
(sepertinya) Tuhan memberi pertolongan,
demikian perjalanan manusia,
yang bisa mendapatkan segalanya,
tetapi masih juga suka berikhtiar.

Semua yang dijalani,
hanya bertindak karena hati,
selama tidak menjadi masalah,
karena menurut ajaran,
ikhtiar itu sungguh-sungguh,
menjadi pilihan untuk bahagia,
sambil tetap berusaha,
dengan tetap hati-hati dan ingat,
tentu akan mendapatkan pencerahan jiwa.

 Ya Allah Ya Rasullulah,
yang bersifat Pemurah dan Penyayang,
semoga menganugerahkan,
pertolongan yang saya harapkan,
di alam dunia dan akhirat,
tempat saya hidup,
sekarang saya sudah tua,
(saya tidak tahu) kemudian akan seperti apa,
hanya saja, semoga ada pertolongan-Mu.

Dapatlah sabar dan sentosa,
mati dalam hidup,    
terhindar dalam segala kekacauan,
murka dan angkara menyingkir,
tiada lain hanya dengan kasih-Mu,
pikiran dan hati saya pasrahkan,
lenyapkanlah segala hukuman,
demikianlah sementara,
semua terserah pada-Mu, bagaimana hidup seluruh warga nantinya. 


4.     Mendekonstruksi Sasmita Zaman Edan
Dekonstruksi Derrida bertolak dari pandangan bahwa teks merupakan permainan bahasa (language game). Penafsiran terhadap teks mengisyaratkan bahwa penafsir (interpeter) juga, sedang menggumuli permainan bahasa tersebut. Kebenaran dibentuk dari teks, ditemukan dalam teks, diinvensi, dan direkayasa dalam teks (Al-Fayyadl, 2005:76-77). Mendekonstruksi sebuah teks dicapai dengan mengenali dan menyoroti keganjilan internal teks tersebut. Dekonstruksi tidaklah menganjurkan untuk menghancurkan teks, melainkan sungguh-sungguh mengajak untuk mengidentifikasi cara-cara teks membongkar dirinya sendiri melalui ketidakkonsistenan, ambiguitas, paradoks, kebisuan, dan gap yang ada dalam teks itu sendiri. Dekonstruksi bukanlah tindakan yang diperbuat orang terhadap teks, tetapi tindakan yang telah senantiasa dilakukan teks terhadap dirinya sendiri (Cavallaro, 2004:46). Adapun metode yang dipinjam Derrida untuk mendekonstruksi teks adalah intertekstualitas dan diseminasi. Dengan metode ini juga, Serat Kalatidha tidak dipandang sebagai teks yang benar-benar mandiri, tetapi teks yang terwujud sebagai mosaik kutipan-kutipan, peresapan, dan transformasi dari teks-teks lain (Kristeva dalam Teeuw, 1984:146). Hal ini dapat disimak langsung dari Serat Kalatidha yang secara tersirat menyebutkan Serat Panitisastra, yaitu teks yang telah ditulis Ranggawarsita sebelumnya. Sementara itu, diseminasi adalah strategi mempermainkan tanda sehingga petanda yang hendak disimpulkan dari sebuah teks dengan sendirinya tertunda (Al-Fayyadl, 2005:79). Dengan menggumuli permainan tanda dalam Serat Kalatidha sebagai teks itu sendiri, maka jejaring makna dapat ditenun dari kebenaran yang tersebar dalam teks.
Teks Serat Kalatidha dibuka dengan pernyataan “mangkya darajating praja” (‘beginilah keadaan negara saat ini’). Membaca pernyataan ini, di sini-sekarang, tentu tidak dimaksudkan untuk berimajinasi tentang keadaan negara, tempat dan waktu kapan Ranggawarsita menulis teks tersebut. Di sini, Ranggawarsita telah melenyapkan kehadirannya sendiri dalam teks tersebut sehingga teks ini dapat dibaca oleh siapa pun, dalam ruang dan waktu apa pun. Dengan lenyapnya sang pengarang maka tidak ada lagi otoritas yang membayanginya. Teks tersebut benar-benar telah menjadi “milik kita”, menjadi “arena kita” untuk bermain-main dengan pernyataan-pernyataan metafor yang tersurat. Dengan asumsi bahwa tidak ada teks, betapa pun diklaim sebagai objektif, sungguh-sungguh melukiskan dunia sebagaimana adanya (Cavallaro, 2004:46). Keadaan negara (darajating praja) yang dinyatakan, dengan demikian adalah keadaan negara antah berantah.
Walaupun demikian, negara antah berantah ini dikemas menjadi setting ruang dan waktu untuk menggambarkan berlangsungnya zaman kalatidha. Menurut keyakinan orang Jawa, setiap babakan sejarah ada yang namanya zaman keemasan (kertayuga) dan zaman kesengsaraan (kalatidha) (Purwadi, 2003:215). Keyakinan ini boleh jadi, merupakan pengaruh Hindu dalam tradisi kejawen. Mengingat dalam kitab-kitab purana khususnya, juga disebutkan siklus empat zaman (catur yuga), yaitu kertayuga/satyayuga, tretayuga, dwaparayuga, dan kaliyuga (Phalgunadi, 2010:38). Dari sini dapat dipahami bahwa Serat Kalatidha adalah hasil refleksi Ranggawarsita terhadap siklus zaman yang senantiasa berulang dalam sejarah. Mengingat dalam teks-teks karyanya yang lain seperti, Serta Jaka Lodhang dan Serat Sabda Tama, ia juga meramalkan bangkitnya nasionalisme dan lahirnya kemerdekaan Indonesia, sebagaimana diafirmasi dari hasil interpretasi Purwadi (2003:181-198). Apabila dipahami bahwa kemerdekaan merupakan zaman keemasan Indonesia, maka dalam perjalanan sejarahnya Indonesia juga akan mengalami masa kemunduran atau penderitaan yang disebutnya zaman kalatidha. Dengan demikian besar kemungkinan bahwa teks ini merupakan kelanjutan dari teks-teks yang telah ditulis sebelumnya. Afirmasi ini membangun simpul makna bahwa negara antah berantah yang dimaksudkan adalah Indonesia, tetapi tidak tertutup kemungkinan adalah negara yang lain. Ambiguitas ini tidak terhindarkan karena globalisasi telah menempatkan negara dan bangsa dalam satu desa global dengan batas-batas yang semakin kabur. Jadi, mungkinkah zaman Kalatida ini gejala yang mendunia? Entahlah.
Serat Kalatidha sendiri tidak pernah menjelaskan secara gamblang kapan zaman kalatidha itu terjadi, kecuali permainan tanda-tanda (sasmita) zaman edan yang diurai dalam rangkaian baris dan baitnya. Dikatakan bahwa zaman edan akan terjadi ketika suatu negara kehilangan kewibawaannya (kawuryan wus sunyaruri). Sunyaruri berarti kekosongan yang benar-benar nihil. Ini adalah premis yang ambigu dalam dirinya sendiri. Pernyataan hilangnya keteladanan pemimpin (karana tanpa palupi) sebagai sebab hilangnya kewibawaan negara telah mendekonstruksi makna sunyaruri itu sendiri. Mengingat yang hilang dari negara adalah keteladanan pemimpin, bukan pemimpin yang hadir sebagai pengatur sistem pemerintahan. Atas paradoks ini dapat dibangun logika bahwa kewibawaan suatu negara tentu tidak benar-benar hilang, ketika sistem pemerintahan masih hadir (present) di dalamnya. Artinya, kewibawaan negara yang benar-benar nihil hanya karena pemimpin yang tidak bisa lagi diteladani, mensyaratkan pemimpin itu telah ditinggalkan seluruh rakyatnya. Pemimpin tanpa rakyat dalam sebuah negara, tentu saja sesuatu yang non sense. Setidak-tidaknya, dalam kemerosotan wibawa negara karena ulah dan perilaku pemimpinnya masih tersisa “kebenaran-kebenaran lain”, yaitu hadirnya sistem pemerintahan yang menciptakan tirani kekuasaan. Jadi, ungkapan kawuryan wus sunyaruri menunda makna nihilnya kewibawaan secara literal, melainkan metafor bagi keadaan negara yang kacau balau (chaos) karena tidak adanya pemimpin yang bisa dijadikan panutan bagi rakyatnya. Makna ini dapat diafirmasi oleh petanda berikutnya bahwa pemimpin tidak bisa lagi dijadikan panutan, bila ia telah mengabaikan nilai-nilai kesusilaan (atilar silastuti). Dari sini dapat dipahami bahwa teks ini menegasi kehadiran pemimpin secara fisikal dengan mengafirmasi pemimpin sebagai simbol keteladanan dan kesusilaan.
Selanjutnya, kondisi chaos pada zaman edan ditandai dengan hilangnya idealisme kaum cerdik pandai (sujana sarjana kelu, kalulun kala tidha). Pernyataan ini merangkai jalinan makna dengan pernyataan sebelumnya dengan mengafirmasi hadirnya liyan (the others) sebagai sumber hilangnya kewibawaan negara. Liyan itu adalah kaum cendikiawan yang kehilangan idealisme. Di sini tersirat makna bahwa kewibawaan negara tidak hanya ditentukan oleh pemimpin, tetapi juga para cendikiawan. Teks ini telah mengurai pentingnya hubungan antara birokrat dan teknokrat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Cendikiawan yang ideal digambarkan adalah sujana-sarjana atau sarjana yang sujana. Idealisme kesarjanaan ditandai dengan karakter ilmuwan yang kritis, rasional, logis, objektif, dan terbuka (Suriasumantri, 1978). Sementara itu, idealisme ke-sujana-an merujuk pada integritas moral cendikiwan. Secara ideal, seorang ilmuwan diharapkan dapat mengambil peran dalam pembangunan dengan ilmu yang dimiliki, baik pada tataran teleologis, etis, maupun integratif. Pada tataran teleologis bahwa ilmu yang dimiliki digunakan untuk mewujudkan tujuan negara. Etis bahwa ilmuwan harus mengembangkan ilmu yang mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia dan kemanusiaannya. Sementara itu, pada tataran integratif bahwa selain meningkatkan harkat dan martabat manusia dan kemanusiaan, ilmuwan juga mampu mengembangkan ilmu untuk meningkatkan kualitas struktur dan kultur masyarakat (Siswomihardjo, 2010:14). Pada zaman edan ini para ilmuwan telah kehilangan idealismenya karena terseret arus Kalatidha (kelu kalulun kalatidha).
Teks ini menyuarakan ketidakmampuan kaum intelektual mengontrol perubahan zaman yang terjadi, bahkan gagal melawan tirani kekuasaan yang diciptakan oleh sistem pemerintahan dan kepemimpinan yang korup. Meminjam gagasan Gramsci (Barker, 2000:370-371) tentang peran intelektual dalam hegemoni negara dapat dibedakan atas intelektual tradisional dan intelektual organis. Intelektual tradisional adalah orang-orang yang mengisi posisi ilmiah, sastra, filsafat, dan keagamaan dalam masyarakat. Sebaliknya, intelektual organis dikatakan sebagai bagian konstitutif dari perjuangan kelas pekerja, mereka memikirkan dan mengorganisasi unsur-unsur dari kelas kontra hegemoni dan sekutunya. Kedua kelompok ini terpisah, tetapi secara historis dapat saling bertumpang tindih (Faruk, 2003:75). Boleh jadi, intelektual tradisional inilah yang dipandang telah kehilangan idealismenya sehingga bersama-sama dengan penguasa mereka turut melanggengkan hegemoni kekuasaan yang penuh tirani. Di sini, Ranggawarsita muncul kembali melalui teks ini sebagai intelektual organis yang melakukan perlawanan terhadap peran intelektual tradisional tersebut. Teks ini ingin menegasi kehadiran kaum intelektual yang berkoalisi dengan kekuasaan untuk melanggengkan ketidakadilan. Sebaliknya, teks ini mewakili suara intelektual “yang lain”, yang melakukan kritik sosial dengan teks. Hal ini sejalan dengan pandangan Williams (Faruk, 2003:79) bahwa kesusasteraan dapat menjadi kekuatan sosial, politik, dan kultural yang memungkinkan lahirnya gerakan perlawanan terhadap ketidakadilan.
Aktor intelektual tradisional yang dimaksud adalah pemimpin (ratu), wakil pemimpin (patih), pegawai pemerintah (nayaka), dan pemuka masyarakat (panekar). Ini menunjukkan level kepemimpinan dari level top hingga bottom dalam sistem pemerintahan. Dikatakan bahwa kualitas pemimpin ini sesungguhnya cukup mumpuni untuk mengatur pemerintahan. Akan tetapi, mereka gagal menciptakan kebaikan dalam masyarakat (becik-becik, parandene tan dadi). Ini menunjukkan bahwa penanda kualitas pemimpin itu paradoks dalam dirinya sendiri. Kualitas pemimpin yang utama (utama), unggul (linuwih), tetapi gagal menjadikan kehidupan rakyat lebih baik, menandai kausalitas positivistik yang berpusat pada logos, akal-budi. Kecerdasan intelektual dipandang telah gagal membangun keunggulan moral. Akal rasional yang tanpa moral, justru menjadi sumber kesengsaraan bagi rakyat. Seperti dikatakan Radhakrishnan (1987:9) bahwa perluasan akal-rasional yang mengabaikan entitas kemanusiaan telah membawa dunia pada krisis moral yang mencengangkan. Pemimpin yang hanya menggunakan akal-rasional tanpa kontrol moral adalah sumber kekacauan negara, sehingga tidak layak lagi dijadikan panutan rakyat.
Kondisi negara tanpa aturan mengingatkan pada kondisi matsyanyaya dalam konsep Hindu, yaitu berlakunya hukum ikan. Ikan besar memangsa ikan yang kecil. Orang satu negara berbeda-beda hasratnya (beda-beda ardaning wong saknegara), dan semua ingin agar hasratnya terpenuhi. Dunia telah menjadi arena perayaan hasrat  (Lash, 2004:91). Hal ini menjadi keniscayaan, ketika negara sudah tanpa aturan. Kalau pun ada, aturan itu sudah diabaikan oleh rakyat karena pemimpinnya sudah terlebih dahulu melanggarnya. Hasrat untuk kaya dan berkuasa menumbuh-kembangkan konglomerasi dan borjuasi tanpa kontrol, sehingga membunuh hasrat kaum miskin, bahkan untuk sekadar memperoleh makanan yang layak. Akan tetapi, teks ini tidak bermaksud meneguhkan oposisi borjuis-proletar, seperti halnya gagasan Karl Marx. Pernyataan hasrat warga satu negara berbeda-beda, juga mengisyaratkan makna demokrasi dalam arti seluas-luasnya. Demokrasi menjadi ide filosofis tentang kedaulatan rakyat. Presiden Lincoln dalam pidatonya memberikan kesimpulan yang bergema kuat tentang definisi terbaik demokrasi dalam sejarah Amerika dengan menyatakan, “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” (Melvin I. Urofsky dalam Clack, 2001:2). Pandangan modern umumnya menyepakati bahwa demokrasi merupakan model paling ideal bagi setiap negara-bangsa. Akan tetapi, demokrasi juga bisa menjadi tirani, ketika penindasan terhadap minoritas dan pembungkaman opini minoritas tetap terjadi (Triguna, 2002). Serat Kalatidha telah menunjukkan bahwa demokrasi itu mitos karena apresiasi terhadap perbedaan yang kebablasan, justru menjadikannya sumber kekacauan.
Uraian di atas menunjukkan semacam adanya gejala schizofrenia pada zaman edan. Schizofrenia adalah gejala perayaan hasrat yang luas biasa karena tubuh tidak lagi berfikir melalui konsep, katagori, atau bahasa, melainkan melalui fantasma. Istilah fantasma muncul dari analisis Freud mengenai fantasi, tetapi bagi Foucault fantasma bukanlah citra Freudian ataupun tanda Lacanian, sebaliknya ia bersifat nyata dan material. Menurut Foucault (Lash, 2004:73) bahwa produksi makna peristiwa terjadi melalui perulangan fantasma yang muncul dalam nuansa teatrikal. Ini artinya tindakan individu tidak lagi diproduksi berdasarkan aturan hidup, melainkan atas hasrat individu. Pada akhirnya, dunia adalah teater yang mempertontonkan nafsu-selera pelakunya. Hal ini digambarkan dengan metafor dening upaya sandi, samurana angrawung, mangimur manuhara (ulah manusia samar-samar, semuanya tidak jelas, seolah-olah semuanya menyenangkan). Ini menunjukkan bahwa zaman edan adalah tempat individu bermain-main dengan hasratnya. Praktik-praktik kehidupan semakin beragam sesuai dengan keinginan individu-individu yang tidak jarang memicu munculnya tegangan dengan tradisi yang telah mapan. Kawi-wiku yang menangisi kondisi ini adalah simbol moralitas dan spiritualitas yang diafirmasi oleh setiap kebudayaan dan kemanusiaan secara universal. Di zaman edan tradisi bajik semakin tersisih dari panggung atraksi perayaan intelektualitas dan hasrat manusia dan hanya menjadi suara-suara lirih tidak ubahnya isak tangis yang nyaris tidak terdengar.
Pernyataan “meh pamrih melik pikolih, temah suka ing karsa tanpa wiweka” (‘hanya pamrih untuk mendapatkan sesuatu, berburu kesenangan tanpa kebijaksanaan’) menegaskan motif di balik hasrat manusia. Motif ini menunjuk pada pikiran materialistik dan hedonistik. Interaksi sosial dibangun atas dasar motif ini. Tujuannya apalagi kalau bukan mencari kekayaan dan kesenangan, meskipun harus mengabaikan kebijaksanaan. Ekonomi menjadi konsep penting dalam pembicaraan ini. Pasar dalam hal ini muncul sebagai kekuatan dalam membangun “dunia” kehidupan sehari-hari dengan memindahkan batas dan ikatan tradisional mengikuti logika berpikir pasar. Proses ini telah melahirkan privatisasi berbagai praktik sosial dengan pemaknaan yang berbeda dengan konteks general. Konstruksi nilai telah dilakukan dengan sangat kompetitif antara agen-agen yang berbeda, baik keluarga, adat, media massa, pemerintah, maupun pasar (Abdullah, 2006:18). Mengikuti logika pasar bahwa nilai sosial dikonstruksi individu dengan melibatkan hasrat yang berusaha dipenuhi melalui hukum permintaan, penawaran, laba, dan rugi. Interaksi sosial pada akhirnya lebih banyak ditentukan oleh faktor kepentingan (Soekanto, 2001:170) dan mendominasi aspek-aspek sosial lainnya.
Zaman edan menandai manusia yang kehilangan kediriannya. Kesadaran diri tunduk pada nafsu-selera, hasrat, dan libido yang mendorongan begitu kuat dari alam bawah sadarnya. Oleh karena itu, hidupnya dipermainkan oleh berbagai agen yang ada di luar dirinya, tanpa mampu mengontrol agen-agen tersebut. Serat Kalatidha memberikan petanda zaman edan bahwa manusia lebih percaya pada informasi (dasaring karoban pawarta), meskipun informasi itu salah (ujar lamis). Informasi telah menjadi barang kultural yang diperjuangkan manusia dalam kehidupannya. Informasi bukan lagi sekadar representasi, yaitu sesuatu yang hadir berhubungan dengan kenyataan yang pada prinsipnya dipahami sebagai pencocokan hal yang lebih baik atau lebih buruk dan dapat dibandingkan. Akan tetapi informasi adalah uraian-uraian deskriptif yang membangun argumentasi diskursif sehingga orang akan segera bertindak berdasarkan informasi yang diperoleh (Lash, 2004:54). Artinya, orang begitu cepat menerima informasi, tanpa mempertimbangkan benar dan salahnya. Malahan, hanya berdasarkan atas informasi saja seseorang dapat dipilih untuk mendudukan posisi kepemimpinan tertentu. Posisi pemimpin kerapkali hanya ditentukan oleh “bisikan-bisikan” orang yang dekat dengan kekuasaan. Akibatnya, kualitas dan kredibilitas pemimpin semakin jauh panggang dari api. Pemimpin seperti ini hanya bisa menabur benih-benih kesalahan (andhedher kaluputan). Ditambah lagi lupa dengan amanat yang diemban (siniraman banyu lali), maka dirinya akan tumbuh sebagai pemimpin yang tidak ubahnya seperti bunga bangkai (lamun tuwuh dadi kekembanging beka). Fisiknya pemimpin, tetapi jiwanya bukan.
Pada dasarnya, sasmita zaman edan menandai situasi negara yang penuh kekacauan (chaos). Kekacauan ini muncul karena kehidupan telah terdiferensiasi sedemikian rupa sehingga manusia sulit menentukan pilihan dalam bersikap (ewuh aya ing pambudi). Berbagai institusi terbentuk untuk mensahkan perbedaan-perbedaan ini (Abdullah, 2006:109). Sementara itu sistem referensi tradisional seperti, institusi moral dan agama semakin melemah peranannya. Orang-orang yang berbudi pekerti luhur tidak dipakai (’wong ambeg jatmika kontit’), sebaliknya yang larut dalam kegilaan zaman menjadi pemimpin-pemimpin masyarakat. Akibatnya, orang-orang yang teguh pada tradisi bajik tersudut dan terpinggirkan dari sistem sosial, menikmati kesahajaan dan kesederhanaan hidup yang kadang-kadang juga bersinonim dengan kemiskinan (keliren wekasanipun).
Itulah sasmita zaman edan, tanda-tanda zaman kalatidha yang akan hadir dalam sejarah kehidupan manusia. Zaman ini hadir sebagai “narasi agung” yang menghegemoni dunia sehingga tidak seorang pun mampu melawannya. Akan tetapi, teks ini masih menyisakan ruang bagi kesadaran manusia untuk berenang di zaman edan, tanpa harus terseret dalam arusnya yang begitu kuat. Di sini, Ranggawarsita membangun wacana pencerahan “sabegja-begjaning kang lali, luwih begja kang eling lan waspada” (‘seberuntung-beruntungnya orang yang lupa, akan lebih beruntung orang yang tetap ingat dan waspada’). Meskipun ia juga ragu dalam keyakinannya, dapatkah narasi agung zaman edan ini diruntuhkan dengan formula “eling” dan “waspada”. Semua hanya kemungkinan-kemungkinan (‘semana mung bebasan’) yang dapat dinegasi, atau sebaliknya diafirmasi kebenarannya. Hanya imanlah yang dapat mengatasi misteri differance ini. Sebagaimana Ranggawarsita membunuh kehadirannya sebagai penafsir zaman edan dengan kalimat “borong angga sawarga mesi martaya” (‘semua terserah pada-Mu, hidup seluruh warga nantinya’).   

5.     Penutup
Serat Kalatida adalah teks. Sebuah bentangan pemaknaan yang terhampar, bertaut tanpa akhir, jalin menjalin, melimpah ruah ke segala penjuru, terus menerus, dan mengalir tanpa henti (Al-Fayyadl, 2005:168). Sasmita zaman edan, sekali lagi hanyalah ‘tanda’ yang ada banyak kebenaran di dalamnya. Mau menerima atau menolak kebenaran itu, semua tergantung pilihan pembaca sebagai penafsirnya. Seluruh pembahasan ini ditutup dengan tanpa simpulan. Kecuali ajakan kepada pembaca yang lain untuk berpetualang mencari jejak-jejak makna Serat Kalatidha dalam lorong-lorong panjang yang tanpa ujung.

  
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan. 2006. Produksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Al-Fayyadl, Muhammad. 2005. Derrida. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara.

Audifax. 2007. Semiotika Tuhan: Tafsir Atas Pembacaan Manusia Terhadap Tuhan. Yogyakarta: Pinus Book Publisher.

Barker, Chris. 2000. Culture Studies Teori dan Praktek. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Budiman, Kris. 2004. Semiotika Visual. Yogyakarta: Buku Baik.

Cavallaro, Dani. 2004. Critical and Cultural Theory: Teori Kritis dan Teori Budaya. Yogyakarta: Niagara.

Clack, George, 2001, Demokrasi (Jurnal), A March of The Lyberty: A Constitutional History of the United States (2nd ed, 2001).

Danandjaja, James. 1989. Folklore Indonesia: Ilmu Gosip, Dongen, dan Lain-lain. Jakarta: Graffiti.

Endraswara, Suwardi. 2005. Tradisi Lisan Jawa Warisan Abadi Budaya Leluhur. Yogyakarta: Narasi.

Faruk. 2003. Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturalisme Genetik sampai Post-Modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Gadamer, Hans-George. 2006. Hermeneutika. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara.

Lash, Scott. 2004. Sosiologi Postmodernisme. Yogyakarta: Kanisius.

Mohamad, Gunawan. 2005. “Sebuah Rekomendasi untuk La Survie”. Pengantar. dalam Derrida. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara.

Mulyanto, dkk. 1990. Biografi Pujangga Ranggawarsita. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Phalgunadhi, I Gusti Putu. 2010. Sekilas Sejarah Evolusi Agama Hindu: Edisi Revisi. Denpasar: Widya Dharma.

Pradopo, Rachmad Joko. 2003. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Purwadi, 2003. Sosiologi Mistik R. Ng. Ronggowarsito Membaca Sasmita Jaman Edan. Yogyakarta: Persada.

Radhakrishnan, S. 1987. The Present Crisis of Faith. New Delhi: Orient Paperback.

Ratna, I Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Tekhnik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Segers. Rien T. 2000. Evolusi Teks Sastra. Yogyakarta: Adicitra.

Siswomihardjo, Koento Wibisono, dkk. 2003. “Ilmu Pengetahuan Sebuah Sketsa Umum Mengenai Kelahiran dan Perkembangannya sebagai Pengantar untuk Memahami Filsafat Ilmu”. Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM. Yogyakarta: Liberty.

Soekanto, Soerjono. 2001. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Stturock, John. 2007. Dari Strukturalisme ke Poststrukturalisme. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara.

Sugiharto, I. Bambang. 1996. Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.

Suriasumantri, Jujus S. 2005. Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: PT Pustaka Sinar Harapan.

Tafsir, Ahmad, 2006, Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Pengetahuan, Bandung: Remaja Rosdakarya.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra. Jakarta Pusat: Pustaka Jaya.

Triguna, I.B.G Yudha. 2002. “Strategi Pemberdayaan Masyarakat dan Kebudayaan Bali dalam Dinamika Multikultural” (Makalah). Denpasar: Balai Kajian.

Yasa, I Wayan Suka. 2010. Rasa Daya Estetik-Religius Geguritan Sucita. Denpasar: Sari Kahyangan Indonesia.