AGASTYAPARWA:
KAJIAN STRUKTUR, FUNGSI, DAN
MAKNA
Oleh
Nanang Sutrisno
Abstrak
Agastya Parwa adalah teks kesusasteraan Jawa
Kuna yang menceritakan tentang percakapan antara Bhagawan Agastya dengan
putranya, yakni Sang Drdhasyu. Melalui pembacaan dengan teori Strukturalisme
dan Hermeneutik dapat diketahui struktur, fungsi, dan maknanya. Struktur teks
ini adalah berbentuk prosa atau gancaran dengan struktur naratif yang
menyerupai model penulisan kitab-kitab purana.
Fungsi teks ini terutama mencakup fungsi didaktis-religius. Sementara itu,
maknanya adalah Panca Sraddha sebagai
satu kesatuan yang utuh dan menyeluruh.
1. Pendahuluan
Agama Hindu dibangun di atas tiga kerangka dasar, yaitu
tattwa, susila, dan acara. Sudharta dan Puniatmadja (2001:5) menjelaskan bahwa
tattwa itu sebagai kepala, susila itu sebagai hati, dan acara itu sebagai
tangan dan kaki agama. Ketiga hal tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama
lain sebagai halnya kepala, hati, dan kaki yang tidak dapat dipisahkan untuk
membentuk manusia sempurna. Ketiga kerangka inilah yang diimplementasikan oleh
umat Hindu dalam keberagamaannya, baik secara individu maupun kolektif. Penjelasan atas ketiga kerangka tersebut dapat
dirujuk pada berbagai teks kesusasteraan Hindu, baik Sruti maupun Smerti.
Salah satu kesusasteraan Hindu
adalah Agastyaparwa. Nama kitab ini diambil
dari nama Bhagawan Agastya yang dalam sastra-sastra Sansekerta dikenal sebagai
seorang Rshi yang menyebarkan paksa
Siwa Siddhanta ke India Selatan sampai ke Indonesia. Ia adalah Bhagawan pengelana yang tidak pernah
kembali pulang (Sura, dkk, 2002:iii). Teks Agastyaparwa menceritakan tentang
percakapan antara Bhagawan Agastya dengan putranya yang bernama Sang Drdhasyu. Masa
penulisan kitab ini memang tidak diketahui karena tidak memuat angka tahun dan
masa pemerintahan seorang raja, sebagaimana lazimnya teks-teks Jawa Kuna
lainnya. Akan tetapi, Poerbatjaraka memasukkan teks Agastyaparwa ke dalam teks
Jawa Kuna golongan tua. Mengingat susunannya menyerupai kitab Brahmandapurana berbahasa Jawa Kuna dan
diperkirakan seumuran dengan teks Sang Hyang Kamahayanikan pada masa Mpu Sindok
di Jawa Timur (Sura, dkk, 2002:iii).
Pada umumnya teks-teks
kesusasteraan Hindu merupakan sistem bahasa berlapis sehingga untuk memahaminya
diperlukan pembacaan secara mendalam. Sejalan dengan hal
tersebut, Yasa (2010:19) menjelaskan bahwa karya sastra merupakan aktivitas bahasa yang
tidak langsung dan bersifat hypogramik. Aktivitas
dimaksud bersifat dialektik antara teks dan pembaca; dan dialektik antara
tataran mimetik dan tataran semiotik. Artinya, pembaca sebagai pemberi makna
harus mulai dari pembacaan heuristik, yakni
pembacaan berdasarkan kompetensi linguistik untuk menemukan arti. Kemudian,
melanjutkan analisis dengan hermeneutik, yakni
pembacaan struktural berdasarkan kompetensi sastra untuk menemukan pusat makna.
Berpijak pada hal tersebut,
Agastyaparwa sebagai teks kesusasteraan Hindu perlu diungkap secara luas dan
mendalam. Pengungkapannya diarahkan untuk memahami teks ini mencakup struktur,
fungsi, dan maknanya. Melalui pengungkapan struktur dapat dipahami struktur
teks, baik formal maupun naratifnya. Melalui pengungkapan fungsi diharapkan
dapat dipahami fungsi teks tersebut terutama dalam khasanah Ilmu Agama dan
Kebudayaan. Sebaliknya, pengungkapan makna teks dilakukan untuk menemukan pusat
makna dari teks Agastyaparwa sehingga dapat digunakan untuk menata kehidupan
keagamaan dan moralitas yang lebih baik bagi umat manusia.
2. Kajian
Pustaka
Teks
Agastyaparwa yang dikaji dalam makalah ini adalah Agastyaparwa: Teks dan Terjemahan oleh I Gede Sura, dkk., yang
diterbitkan oleh Widya Dharma pada tahun 2002. Dipilihnya teks ini karena diyakini
para penerjemah telah melakukan kajian filologi secara mendalam untuk
menentukan teks asli yang diterjemahkan. Selain itu, teks dan terjemahan ini
belum mendapatkan interpretasi dari penerjemah sehingga masih mempertahankan
keasliannya. Oleh karena itu, pengungkapan struktur, fungsi, dan maknanya dapat
memperdalam kajian terhadap teks tersebut.
Konsep struktur dapat dirujuk dari pendapat Aristoteles dalam bukunya yang
berjudul “Poetika” yang ditulis sekitar tahun 340 SM di Athena. Aristoteles
meletakkan dasar yang kuat untuk pandangan yang menganggap karya sastra sebagai
struktur yang otonom. Masalah struktur karya sastra dibicarakannya dalam rangka
pembahasan tragedi, khususnya dalam pembahasan plot. Efek tragedi dihasilkan
oleh aksi plotnya dan untuk menghasilkan efek yang baik, plot harus mempunyai
keseluruhan dan dipenuhi empat syarat utama yaitu (1) order (urutan dan aturan), (2) unity
(kesatuan), (3) complexity
(kompleksitas), dan (4) coherence (koherensi atau kesalinghubungan antarbagian) (Teeuw, 1984:120). Artinya, struktur menekankan pada keterjalinan
dan kesalinghubungan antarbagian dalam sebuah teks yang bersifat otonom.
Konsep fungsi berarti (1) kegunaan suatu hal; dipakai sebagai apa; untuk apa, (2)
jabatan, kedudukan. Kata yang berkaitan dengan ini adalah berfungsi yang
berarti: (1) bertugas, menduduki jabatan, (2) digunakan sebagai
(Badudu-Zein,1994:412). Aspek fungsi merupakan hasil kerja yang teratur dan
terpadu yang mengacu pada “bagaimana”. Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Novia, 2005:134) kata fungsi diartikan
sebagai (1) jabatan atau pekerjaan yang dilakukan, (2) faal atau kerja salah
satu bagian tubuh, (3) besaran yang berhubungan, jika besaran yang satu berubah
maka besaran yang lain juga berubah, dan (4) kegunaan suatu hal. Fungsi
mengandaikan bahwa setiap unsur dalam struktur sosial memiliki tujuan
masing-masing.
Ogden dan Richards (1923) menyatakan
makna adalah (a) suatu sifat intrinsik, (b) konotasi suatu kata, (c) tempat
sesuatu di dalam sistem, (d) sesuatu yang benar-benar diacu oleh pemakai
lambang, (e) sesuatu yang seharusnya diacu oleh pemakai lambang, (f) sesuatu
yang menurut keyakinan pemakai lambang dipakai sebagai acuan, dan (g) sesuatu yang oleh
penafsir lambang diacu, diyakini bahwa dia sendiri mengacu kepadanya, dan
diyakini bahwa pemakai mengacu kepadanya. Artinya, makna adalah sesuatu yang berada di dalam sistem serta diacu
oleh pengarang dan penafsir lambang.
3. Landasan
Teori
3.1 Teori
Strukturalisme
Kaum strukturalisme yang menganggap karya sastra sebagai
struktur yang unsurnya terjalin secara erat dan berhubungan antara satu dan
lainnya. Karya sastra merupakan sebuah kesatuan yang utuh sehingga karya sastra
dapat dipahami maknanya, jika dipahami bagian-bagiannya atau unsur-unsur
pembentuknya, relasi timbal balik antara bagian dan keseluruhannya. Hal ini
sebagaimana ditegaskan oleh Fananie (2000:76) bahwa karya sastra tidak hanya
dinilai berdasarkan pada salah satu elemennya, tetapi harus dilihat sebagai
keseluruhan. Oleh karena itu, analisis struktural sastra juga disebut
pendekatan objektif karena menganalisis unsur intrinsiknya. Berkaitan dengan
itu, juga Fananie (2000:112) menegaskan bahwa pendekatan objektif adalah
pendekatan yang mendasarkan pada suatu karya sastra secara keseluruhan.
Pendekatan yang dinilai dari eksistensi sastra itu sendiri berdasarkan konveni
sastra yang berlaku.
Berkaitan dengan hal tersebut, Hartoko (1986:135—136)
menegaskan bahwa unsur-unsur teks secara berdiri sendiri tidaklah penting.
Unsur-unsur itu hanya memperoleh artinya dalam sejumlah relasi, baik relasi
asosiasi ataupun relasi oposisi. Relasi-relasi yang dipelajari
dapat berkaitan dengan mikroteks (kata, kalimat), keseluruhan yang lebih
luas (bait, bab), maupun intertekstual (karya-karya lain dalam periode
tertentu). Relasi tersebut dapat berwujud ulangan, gradasi, ataupun
kontras dan parodi. Meskipun demikian, struktur bukanlah suatu yang statis,
tetapi bersifat dinamis karena di dalamnya memiliki sifat transformasi. Oleh
karena itu, pengertian struktur tidak hanya terbatas pada struktur (structure), tetapi sekaligus mencakup
pengertian proses menstruktur (structurant)
(Peaget dalam Sangidu, 2004:16). Dengan demikian, teori struktural adalah suatu
disiplin yang memandang karya sastra sebagai suatu struktur yang terdiri atas
beberapa unsur yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya.
3.2 Teori
Hermeneutik
Secara etimologis, kata ‘hermeneutik’ (Inggris:
hermeneutic) berasal dari bahasa Yunani “hermeneuein” yang berarti menafsirkan.
Kata benda hermeneia secara harfiah dapat diartikan sebagai ‘penafsiran’ atau
interpretasi (Sumaryono, 2001:23; Palmers, 2005:15). Dalam perkembangan berikutnya,
hermeneutik menjadi cara baru untuk bergaul dengan bahasa yang menjadi media
pengungkapan seluruh pengalaman dan kebudayaan manusia. Hal ini tidak terlepas
dari pandangan brilian Schleirmacher (Sumaryono, 2001:34) bahwa hermeneutik
adalah seni penafsiran yang dapat diterapkan pada teks apapun, baik dokumen
hukum, teks keagamaan, seni, dan karya
sastra lainnya. Dengan semakin besarnya minat para intelektual untuk
menggunakan cara kerja hermeneutik pada berbagai teks kebudayaan. Dalam
pergulatan internalnya, hermeneutik mengalami proses perkembangan dan
transformasi yang dinamis sehingga melahirkan beberapa aliran atau mazhab
dengan teorinya masing-masing. Secara ringkas dapat dijelaskan
postulat-postulat penting dari beberapa pencetus teori hermeneutik klasik.
Schleirmacher menyatakan bahwa tugas interpretan atau
penafsir adalah menafsirkan teks sebaik, atau bahkan lebih baik dari
pengarangnya sendiri. Untuk itu, diperlukan kemampuan penafsir untuk memahami
suasana kejiwaan pengarang pada saat mengarang karyanya. Pada pihak lain,
Dilthey menyatakan bahwa kebenaran teks dapat dijangkau, karena teks memiliki
kebenaran dalam dirinya sendiri yang tetap, riil, dan permanen. Seorang
penafsir dapat menjangkau kebenaran sebuah teks bila memahami korelasi antara
‘ungkapan’ dan ‘muatannya’. Dilthey juga terkenal dengan analisis
hermeneutika-historis bahwa teks tidak pernah terlepas dari pasang surutnya
sejarah. Berbeda dengan itu, Gadamer menyatakan bahwa sekali teks dilempar ke
ruang publik, teks tersebut telah hidup dengan nafasnya sendiri. Tidak ada kaki
referensial yang menopang, bahkan oleh pengarangnya sendiri. Oleh karenanya,
tugas hermeneutik bukanlah untuk menguak makna asli teks seperti yang
dikehendaki pengarang, tetapi diarahkan untuk memproduksi makna teks yang hanya
tergantung kepada pembaca atau penafsir. Konsekuensinya, para penafsir yang
berbeda latar belakang kebudayaan, usia, atau tingkat pendidikannya tidak akan
melakukan interpretasi yang sama, dan pada titik-kulminasi memunculkan hasil
penafsiran yang bermacam-macam (Sumaryono, 2001:35—55).
Makalah ini
hanya difokuskan pada cara kerja hermeneutik yang disampaikan oleh Hans-Georg
Gadamer dengan pertimbangan sebagai berikut. Pertama, sebagian kalangan bahwa Gadamer
mendapatkan pengaruh Paul Ricour yang terkenal dengan jargon ‘‘matinya sang
pengarang’’ (the death of author)
(Sumaryono, 2001:109). Maksudnya bahwa interpretasi tidak sama dengan mengambil
suatu teks lalu mencari makna yang dikehendaki oleh pengarang teks tersebut.
Bagi Gadamer (Bertens, 2002:263). Arti suatu teks tetap terbuka dan tidak
terbatas pada maksud pengarang teks tersebut sehingga interpretasi tidak
bersifat reproduktif belaka, tetapi juga produktif. Dengan demikian, teks ini
bersifat otonom sehingga interpretasi dapat dilakukan untuk memproduksi makna.
Kedua, Gadamer mengkritik pendapat hermeneutika romantis tentang waktu,
yakni bahwa seorang interpretan harus dapat melepaskan diri dari dimensi waktu
yang melingkupinya dan berziarah ke dimensi waktu pengarang teks. Menurut Gadamer
(Hardiman, 2003:48—49) bahwa interpretan tidak dapat melepaskan diri dari
situasi historis tempatnya berada. Sebuah teks mempunyai keterbukaan makna
untuk masa sekarang, bahkan masa yang akan datang. Oleh karena itu, memahami
dan menginterpretasikan suatu teks merupakan tugas yang tidak akan pernah
selesai. Setiap zaman memiliki beban tugas untuk menginterpretasikan suatu
teks. Makna teks bukanlah makna bagi pengarangnya, melainkan makna bagi
kehidupan pada zaman ini. Dengan demikian, penafsiran adalah proses kreatif.
Ketiga, Gadamer juga mengkritik secara tajam konsep “tradisi’ dan “prasangka”
yang digagas para pengusung hermeneutika romantis. Menurut tradisi hermeneutika
romantis, prasangka harus dihindarkan jauh-jauh dalam menafsirkan suatu teks.
Menurut para pemikir hermeneutika romantis, prasangka (prejudice) hanya memiliki arti kurang baik dan bertentangan dengan
kebenaran. Akan tetapi, justeru menurut Gadamer (Bertens, 2002:264—265) bahwa
untuk memahami suatu teks dapat dimulai dari prasangka-prasangka. Menurutnya,
tradisi akan membantu interpretan dalam menginterpretasi makna teks.
Selanjutnya, Gadamer (Syamsudin, 2006:5—9) mengemukakan
teori untuk meraih pemahaman atas suatu teks, sebagai berikut: (a) seorang penafsir harus
mampu mengatasi subjektivitasnya ketika menafsirkan sebuah teks; (b) dalam
proses pemahaman, pra-pemahaman selalu memainkan fungsi yang signifikan. Fungsi
pra-pemahaman adalah untuk mendialogkan pengetahuan awal yang dimiliki
(pra-pemahaman dengan teks yang sedang ditafsirkan; (c) proses penafsiran
dipengaruhi oleh dua horison, yakni cakrawala (pengetahuan) atau horison yang
ada di dalam teks, dan cakrawala (pemahaman) atau horison pembaca. Oleh karena
itu, ketika seseorang membaca teks yang muncul pada masa lalu, maka ia harus
memperhatikan horison historis di mana teks tersebut muncul (baca: diungkapkan
atau ditulis). Interaksi di antara dua horison tersebut dinamakan “lingkaran
hermeneutik” (hermeneutical circle). Dalam proses ini terjadi
pertemuan antara subjektivitas pembaca dan objektivitas teks, di mana makna
objektif teks harus lebih diutamakan oleh pembaca atau penafsir teks; (d)
selain proses memahami dan menafsirkan, juga dituntut “penerapan” (application) pesan-pesan atau
ajaran-ajaran pada masa ketika teks itu ditafsirkan; dan (e) interpretasi
adalah sebuah seni yang melibatkan taste (rasa, selera). Oleh karena itu,
interpretan memiliki otonomi untuk menggunakan bahasa penalarannya sendiri
sehingga menjadikan pemaknaan itu lebih indah.
Berdasarkan keempat teori tersebut dapat ditarik tiga
sumbangan penting pemikiran Gadamer dalam interpretasi teks. (1) keterbukaan terhadap
“yang lain” karena meniscayakan meleburnya latar belakang penafsir dalam dunia makna
sehingga melahirkan pluralitas penafsiran; (2) Gadamer yang tidak melegitimasi satu
penafsiran sebagai sesuatu yang benar sehingga memungkinkan munculnya penafsiran dan pemahaman secara beragam; dan (3) pemahaman dan
pembacaan terhadap teks tidak meniscayakan pembaruan terus-menerus.
3.3
Teori Intertekstualitas
Intertekstualitas adalah telaah terhadap sejumlah teks yang
diprediksi mempunyai hubungan tertentu dengan teks-teks lain, misalnya hubungan
tema, penokohan, dan unsur-unsur intrinsik lainnya. Secara lebih khusus
intertekstualitas berarti berusaha menemukan aspek-aspek tertentu yang telah
ada pada karya-karya sebelumnya yang muncul pada karya-karya berikutnya (Cika,
2003:780). Asumsi dasar dari teori ini bahwa sebuah teks tidak akan bebas dari
pengaruh-pengaruh teks-teks lainnya. Pandangan ini dikemukakan Teeuw (2003:
120-121) sebagai berikut.
Setiap
teks sastra dibaca dan harus dibaca dengan latar belakang teks-teks lain, tidak
ada sebuah teks pun yang sungguh-sungguh mandiri, dalam arti bahwa penciptaan
dan pembacaannya tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks-teks lain sebagai
contoh, teladan, dan kerangka. Pemahaman teks baru memerlukan latar belakang
pengetahuan teks-teks sebelumnya.
Makalah ini
meletakkan suatu teks dalam sistem sastra dengan memperhatikan hubungan dan
kesinambungannya dengan teks-teks lain, baik secara sinkronis maupun diakronis.
Dengan kata lain dalam penelitian ini digunakan prinsip intertekstualitas, baik
dalam rangka melacak penciptaan teks maupun dalam rangka menelusuri resepsinya
(Teeuw, 2003: 121; Jauss dalam Titib, 2006:24). Dalam hal ini, upaya untuk memahami struktur, fungsi, dan makna teks
Agastyaparwa tidak dapat dilepaskan dari keberadaan teks-teks susastera Hindu
yang lain. Oleh karena itu, teori intertekstualitas menjadi penting untuk
digunakan.
4. Metode
Berkaitan dengan pembacaan mendalam
terhadap struktur, fungsi, dan
makna teks menurut Yasa (2006:45) bahwa ada dua prinsip
universal utama yang berfungsi dalam kode bahasa sastra, yaitu (1) prinsip
ekuivalensi atau kesepadanan, yakni efek sastra yang dihasilkan dari gabungan
bahan-bahan yang dari segi tertentu (bunyi, tata bahasa, makna) merupakan
pasangan ekuivalen; (2) prinsip deviasi atau penyimpangan, yakni efek
kesastraan yang ditimbulkan dari penyimpangan dari penggunaan bahasa. Sahredaya
‘penjiwaan atau kesehatian’ dan hredayasamvada ‘imajinasi terbagi atau
pergumulan batin melalui proses imajinasi dengan membagi perasaan dengan
sesuatu yang lain (objek yang dihayati)’ merupakan dua metode yang dianjurkan
untuk dapat menghayati rasa teks yang dihadapi. Dalam penelitian ini prinsip
ekuivalen digunakan bukan terhadap bunyi, melainkan terhadap makna yang mungkin
dimunculkan oleh kode bahasa dan budaya sehingga makna sastra yang mengacu pada
pendidikan agama Hindu. Pergumulan mendalam terhadap teks dilakukan sejak
pengumpulan data hingga analisis data ini dilakukan dalam tahapan-tahapan
seperti dijelaskan di atas.
Selanjutnya, Yasa (2006:46) berdasarkan
pemikiran Teuuw menegaskan bahwa untuk memahami karya sastra (juga seni
lainnya) diperlukan pengetahuan sistem kode yang cukup rumit, kompleks, dan
aneka ragam. Lebih lanjut, Teeuw (1983) menyatakan bahwa ada tiga sistem kode
yang diperlukan peneliti: kode bahasa, yakni kemampuan membaca teks
sebaik-baiknya melalui tata bahasa dan kosakata bahasa teks yang diteliti; kode
budaya, yakni kemampuan memahami isi teks melalui pengetahuan tentang
konsep-konsep budaya yang menjadi atau isi teks yang ditelaah; dan yang tidak
kalah pentingnya adalah kode sastra, semisal tentang tembang, urutan kata,
pilihan kata, struktur kalimat, permainan bunyi, permainan arti, dan unsur tata
bahasa yang khas. Seluruh pemakaian bunyi atau kata dapat menjadi tanda yang
menandai sesuatu, yang pada gilirannya berfungsi untuk memperkuat dan
membulatkan seluruh makna teks. Dalam penelitian ini bunyi atau tembang tidak
dijadikan perhatian karena penelitian ini hanya terbatas pada prinsip sesuai
dengan analisis pendidikan agama Hindu.
Mengingat bahasa sastra merupakan sistem
tanda maka diperlukan pembacaan menurut prinsip kerja teori semiotik ‘ilmu
tanda’ seperti yang diajukan oleh Riffarterre (dalam Yasa, 2006: 46).
Pertama-tama, dilakukan pembacaan secara heuristik, yakni pembacaan menurut
kompetensi kebahasaan teks yang dikaji. Setelah itu pembacaan dilakukan menurut
pembaca hermeneutik, yakni pembacaan berdasarkan konvensi sastra dan budaya
yang termuat dalam teks. Dalam rangka itu teks bagaimanapun juga, tentulah
merupakan tenunan yang bahannya diambil, baik secara langsung atau tidak
langsung, dari teks-teks yang pernah dibaca oleh pengarang sebelumnya. Langkah
kerja seperti ini digunakan untuk melihat eksistensi teks. Hal ini dilakukan
karena penelitian ini lebih menekankan analisis isi daripada struktur, sehingga
analisis struktur teks seolah-olah diabaikan. Dengan tahapan-tahapan kerja yang demikian maka analisis
teks Agastyaparwa dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
5. Struktur
Teks Agastyaparwa
Struktur teks
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu struktur formal dan struktur naratif. Secara
formal, teks Agastyaparwa merupakan karya sastra berbentuk prosa atau gancaran. Prosa ini disusun dalam dua
bahasa, yaitu bahasa Sanskerta dan bahasa Jawa Kuna. Secara sederhana dapat
dimengerti bahwa teks berbahasan Jawa Kuna merupakan penerjemahan dan ulasan
dari teks yang berbahasa Sanskerta. Struktur seperti ini juga dapat ditemukan
dalam teks-teks Jawa Kuna yang lain, misalnya Slokantara dan Sarasamuccaya.
Sementara itu, struktur naratif teks
Agastyaparwa dapat dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, teks ini diawali dengan menceritakan tentang Sang Drdhasyu, yaitu putra
Bhagawan Agastya yang dikatakan sebagai pendeta muda yang telah sempurna. Sebelum
memulai cerita, tampaknya pengarang memuja istadewata,
yaitu Sang Hyang Aditya. Kemudian, Pendeta
muda ini bertanya kepada ayahnya, yakni Bhagawan Agastya tentang awal mula dan berakhirnya alam
semesta (brahmanda), serta para
dewatanya. Selanjutnya, isi teks berikutnya adalah penjelasan dari Bhagawan
Agastya terhadap pertanyaan tersebut. Hal ini menyerupai penjelasan kitab-kitab
Purana tentang penciptaan alam
semesta dan segala isinya, termasuk silsilah para dewa, raksasa, dan manusia.
Kedua, setelah Bhagawan Agastya menjelaskan tentang penciptaan dan peleburan
alam semesta beserta segala isinya maka Sang Drdhasyu bertanya tentang segala
hal yang menyebabkan orang mendapatkan neraka dan surga. Atas pertanyaan ini,
Bhagawan Agastya memberikan jawaban tentang karma
dan phala dari Tri Kaya Parisudha. Dalam penjelasan berikutnya dijelaskan juga
tentang hubungan karmaphala dengan sorga, neraka, reinkarnasi (punarbhawa) dan kelepasan (moksa). Untuk memperdalam tentang hubungan tersebut, juga
dijelaskan secara panjang lebar tentang karmawasana
dari perbuatan seseorang yang dapat dilihat dari kualitas kelahirannya.
Ketiga, bagian berikutnya menjelaskan tentang kehidupan para dewa (Aditya) dan raksasa (Ditya) yang
dapat dijadikan teladan tentang perbuatan yang baik dan buruk. Secara umum,
penjelasan ini merupakan kelanjutan dari bagian pertama dan hubunganya dengan bagian kedua di atas. Artinya, bagian ini hampir sebagian besar membicarakan
tentang silsilah para dewa dan raksasa, yang sekaligus menjadi penjelasan lebih
lanjut tentang perbuatan.
Keempat, penjelasan tentang ajaran kependetaan (kawikon) dan kelepasan. Pada bagian inilah, Bhagawan Agastya
menjelaskan tentang segala hal yang dapat melepaskan manusia dari jurang
kesengsaraan dan mencapai kebahagiaan sejati (moksa). Kelima, Sang
Drdhasyu bertanya tentang silsilah para Brahmarsi dan Dewarsi. Sampai kepada
cerita Sang Jatayu yang dahulu sempat berusaha menyelematkan Dewi Sita saat
diculik Rahwana atau Dasanana. Selanjutnya, diungkapkan tentang sifat-sifat
Jatayu yang dapat diteladani manusia dalam menjalani kehidupannya. Demikian
juga berikutnya dijelaskan tentang penjelmaan manusia berdasarkan perbuatannya
(phala karma). Keenam, Bhagawan Agastya mengajarkan tentang dharmasadhana atau kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan untuk
melaksanakan dharma atau kebenaran.
Pada bagian ini diajarkan tentang tapa,
brata, yoga, dan samadhi. Meskipun
demikian, bagian ini juga menjelaskan tentang kewajiban dan perilaku seorang
Pendeta (lihat bagian keempat). Ketujuh, pada bagian terakhir dijelaskan
tentang catur warna dan hubungannya
dengan catur asrama.
Berdasarkan
struktur naratif tersebut dapat dipahami bahwa gaya penulisan teks Agastyaparwa
seperti gaya penulisan kitab-kitab purana.
Cerita yang diketengahkan di dominasi oleh cerita tentang penciptaan dan
silsilah para dewa, raksasa, dan para Rshi.
Selain itu, juga diuraikan secara siklis bahwa antar bagian senantiasa
berhubungan satu dengan yang lain. Ajaran agama diselipkan dalam setiap bagian
cerita dan membangun keutuhan dari cerita tersebut. Hal ini sekaligus menjadi
petunjuk untuk memahami fungsi dan makna teks Agastyaparwa terutama dalam
pendekatan agama dan kebudayaan Hinduistik.
6. Fungsi
Teks Agastyaparwa
Untuk mengkaji
fungsi teks Agastyaparwa, strukturalisme menekankan pada analisis struktur
dalam (inner structure). Artinya,
tidak ada yang berada di luar teks sehingga memahami isi teks secara mendalam
menjadi upaya untuk menemukan fungsi dan makna teks secara keseluruhan. Untuk
apa teks itu ditujukan sesungguhnya telah terkandung dalam teks itu sendiri.
Dalam hal ini fungsi teks Agastyaparwa dapat dirujuk dalam kedudukannya sebagai
teks didaktis-religius dalam khasanah kesusasteraan Hindu.
Kesusasteraan Hindu menjadi landasan
untuk mengerti Rta dan memahami Dharma, dua hukum kehidupan tertinggi,
selain ketuhanan. Rta mengajarkan
prinsip-prinsip hukum alam (logika) dan dharma
menganjurkan prinsip-prinsip hukum moral (etika). Kedua hukum ini dijelaskan
secara luas dan mendalam dalam Sruti.
Artinya, Sruti menjadi sumber hukum
kehidupan tertinggi dan kemudian, dijabarkan dalam kitab-kitab Smrti, Sila, Acara, dan Atmanastuti. Hirarki susastra Hindu
tentang hukum kehidupan ini, seperti dijelaskan dalam Manawa Dharmasastra II. 6
berikut.
”Idanim dharma pramanamyaha,
wedo khilo dharma mulam,
smrti sile ca tadvidam,
Acara’s ca iwa sadhunam,
atmanastutirewa”.
Artinya:
Seluruh
pustaka suci Weda (Sruti dan Smrti) merupakan sumber pertama dari
dharma. Kemudian adat istiadat, setelah itu tingkah laku yang terpuji dari
orang-orang bijak yang mendalami ajaran suci Weda (sila), juga tata cara kehidupan orang suci (acara), dan akhirnya kepuasan pribadi (atmanastuti).
Kebenaran absolut yang disampaikan
Sruti, direfleksikan
menjadi ajaran-ajaran Smrti. Oleh karena itu, refleksi dari Smrti dapat dikatakan menjadi metode untuk memahami keseluruhan
struktur dan isi Sruti. Hal ini
ditegaskan dalam Sarasamuscaya 39 berikut.
Ndan Sang Hyang Weda, paripurnakena makasadana Sang Hyang Itihasa mwah
Sang Hyang Purana,
apan Sang Hyang Weda ajerih
ring wong akedik ajinia.
Artinya :
Untuk mencapai
kesempurnaan mempelajari Weda, maka
pelajarilah Itihasa dan Purana, karena Weda takut kepada orang yang sedikit ilmunya.
Penjelasan Sarasamuccaya
tersebut menegaskan bahwa untuk mencapai kesempurnaan Weda dapat dilakukan melalui pembacaan mendalam tentang Smrti, seperti Itihasa dan Purana. Itihasa adalah Mahabharata
dan Ramayana, sedangkan Purana berisi cerita-cerita dari zaman
kuna. Menyimak gaya penulisan dalam teks Agastyaparwa yang menyerupai gaya
penulisan kitab-kitab purana maka
dapat dikatakan bahwa teks ini adalah Smerti
yang berfungsi menjelaskan isi Sruti.
Apabila Sruti adalah dasar dari
religiusitas umat Hindu, maka Smerti adalah
salah satu cara untuk memahami isi Sruti.
Kedua-duanya tidak dapat dipisahkan sebagai basis dari religiusitas Hindu.
Kejelasan
tentang fungsi religius Agastyaparwa dapat dicermati dalam uraiannya tentang
aspek-aspek keagamaan Hindu, yaitu tattwa,
susila, dan acara keagamaan yang
menjadi tiga kerangka dasar agama Hindu. Konsep-konsep tattwa dalam Agastyaparwa dapat dicermati dari adanya pemujaan
kepada Sang Hyang Aditya, tentang
para dewa dan raksasa, tentang Triloka (Bhur, Bwah, Swah), tentang akhir alam
semesta (pralaya), tentang penciptaan
alam semesta dan segala isinya. Hal ini tiada bertentangan dengan konsep tattwa yang terkandung dalam kitab teks-teks lontar yang
bercorak Siwaistis, seperti Bhuwanakosa, Tattwajñàna, Sanghyang Mahàjñàna, Ganapati tattwa,
Wrhaspati tattwa, dan Jñànasiddhanta. Dalam Siwatattwa dikatakan
bahwa Tuhan disebut dengan Bhtara Siwa. Beliau adalah asal mula dan kembalinya
segala yang ada. Sebagaimana dijelaskan dalam Bhuwanakosa III. 80 bahwa
“seluruh alam ini muncul dari Bhatara Siwa, lenyap kembali kepada Bhatara Siwa
juga” (sakweh ning jagat kabeh, mijil sangkeng Bhatara Siwa ika, lina wing Bhatara Siwa
ya).
Struktur Tattwa dalam Agastyaparwa dapat diringkas sebagai
berikut.
“Pada
waktu datangnya Mahapralaya hilanglah
caturbhuta, triloka, sapta patala, para
dewa, dan alam semesta semua lenyap. Alam semesta menjadi kosong dan hanya Bhattara Sadasiwa yang tetap ada. Beliau
bersifat mutlak (niratmakaswabhawa),
luput dari sakala-niskala, Beliau
disebut Bhattara Sarwa. Ketika Beliau
berkehendak mencipta maka muncullah Caturbhuta,
yaitu akasa dan bayu, kemudian prthiwi dan teja. Setelah
itu Beliau menciptakan telur (andamkaroti).
Akhirnya, Bhattara Brahma dan Wisnu lahir dari yoga Beliau. Seluruh ciptaan kemudian lahir dari yoga Bhattara Brahma, yaitu Sang Sanaka,
Sang Nandana, Sanatkumara, Byasa, semua
Brahmarsi, Sang Manu, dan para pitra
(leluhur). Dari sinilah akhirnya berkembang alam semesta dan segala isinya”.
Dalam teks Agastyaparwa, juga
dijelaskan tentang konsep-konsep etika (susila)
yang secara umum dibungkus dalam penjelasan tentang karmaphala. Dijelaskan bahwa karmaphala
bersumber dari trikaya, yaitu kayika, wacika, dan manacika. Ketiga hal inilah yang dapat menyebabkan surga dan
neraka, sebagaimana dijelaskan berikut.
“kalingannya:
tri pratyekanika manuwuhaken swarga mwang naraka: ulah, sabda, ambek. Ika ta
maka nista, madhyamottama. Lewih phala nikang sabda saking ulah. Lewih phala
nikang ambek sakeng sabda, hana pwa wwang samargi denya gumaweyaken ikang kadustakraman, tekeng
silanya tan rahayu, tekeng wuwusnya tan rahayu, nguniweh ambeknya tan rahayu,
anggong tikang kapapan”.
Artinya:
“Ada tiga hal yang menyebabkan surga dan
neraka, yaitu perbuatan (ulah/kayika),
kata-kata (sabda/wacika), dan pikiran
(ambek/manacika). Itu mempunyai
tingkatan nista, madya, dan utama. Pahala kata-kata lebih utama
daripada perbuatan, pahala pikiran lebih utama daripada kata-kata. Ada orang
yang sepenuhnya melakukan perbuatan-perbuatan jahat, baik perbuatannya,
kata-katanya, maupun pikirannya semuanya tidak baik, maka besarlah papa yang
akan dijumpainya”.
Dari ketiga penyebab karmaphala inilah, juga kemudian
dijelaskan tentang akibatnya berupa sorga, neraka, dan reinkarnasi (punarbhawa). Dijelaskan bahwa orang yang
selalu berpikiran irihati, marah, loba, yang menjadikan pikirannya selalu
kotor, orang yang perkataannya menusuk hati, kelak setelah ia mati, akan
menjelma menjadi orang yang hina dina, lebih besar papanya daripada menjelma
menjadi pohon kayu. Sebab yang disebut hina (mleccha) itu sulit dihilangkan. Ini adalah ajaran-ajaran susila
yang menjadi bagian integral dari religius Hinduistik.
Selanjutnya, ajaran tentang acara juga dijelaskan dalam teks
Agastyaparwa. Dalam teks tersebut terdapat tiga istilah penting yang
dijelaskan, yaitu tapa, yajna, dan kerti. Pengendalian indriya adalah tapa, pemujaan kepada Bhattara Siwagni adalah yajna, sedangkan membangun rumah
berobat, parhyangan, tempat
peristirahatan, pancuran, telaga, dan sebagainya adalah kerti. Adapun yajna itu
lima banyaknya yang disebut Pancayajna, yaitu
dewayajna, Rshi yajna, Pitrayajna,
Bhutayajna, dan Manusayajna. Di
samping itu, juga dijelaskan salah satu sarana upakara, yaitu bunga. Bunga adalah sarana
untuk memuja kebesaran Hyang Widhi Wasa. Bunga menunjukkan ketulusan hati dari
seorang bhakta sehingga bunga yang dipilih untuk dipersembahkan dan
persembahyangan adalah bunga yang harum dan suci. Secara khusus ada aturan
tentang jenis-jenis bunga yang dapat digunakan sebagai sarana persembahyangan.
Ini termuat dalam Agastya Parwa sebagai berikut.
“iking ngaran sekar tan wenang
kapujakena ring Bhatara. Sekar rwa lawas mekar, kembang munggah ring sema,
kembang uleran, sekar tan arum gandania, sekar ruruh tan ingunduh........”
Artinya :
“Inilah beberapa jenis
bunga yang tidak dapat engkau persembahkan kepada Tuhan. (yaitu) bunga yang
telah layu, bunga yang tumbuh di kuburan, bunga yang dimakan ulat, bunga yang
tidak harum baunya, dan bunga yang jatuh tanpa dipetik....”.
Berdasarkan
penjelasan di atas dapat dipahami fungsi didaktis-religius dari teks
Agastyaparwa adalah mengajarkan tentang Tri Kerangka Agama Hindu, yaitu tattwa, susila, dan acara agama
Hindu. Ketiga kerangka ini dijelaskan secara kait-mengait antara satu bagian
dengan bagian yang lain. Struktur tattwa yang
digunakan cenderung bersifat Siwaistis, begitu
juga susila dan acara agama dapat memperkaya pemahaman terhadap kehidupan religius
umat Hindu. Fungsi didaktis-religius ini sekiranya bermanfaat untuk memberikan
pemahaman lebih jauh dan mendalam terhadap struktur agama Hindu, khususnya di
Indonesia.
7. Makna
Teks Agastyaparwa
Untuk mengungkap makna teks
Agastyaparwa dapat diawali dengan menyimak salah satu tulisan Mpu Kanwa dalam Kakawin Arjuna Wiwaha I.1, yang menjelaskan sebagai berikut.
“Kadi hana purwa karma dinalih sang akarya hayu,
ulah apageh magegwana rasagama
buddhi tepet,
ya juga sudhira munggu ri
manah nira sang nipuna,
karana nikan sukhabhyudaya
niskala yang katemu”.
Artinya :
Adalah
ajaran karma yang purba, itu dipegang oleh ia yang mengusahakan kerahayuan. Yaitu perilakunya
teguh berpegang pada rasa, agama, dan buddhi yang tepat. Itu sajalah sungguh teguh
dalam pikirannya, ia mengusahakan kerahayuan. Karena itu ia mendapatkan
kebahagiaan duniawi, kebahagiaan batin pun diraihnya. (terjemahan oleh
Yasa,2003:13)
Perilaku religius adalah perilaku yang berpedoman pada rasa, agama, dan buddhi secara tepat. Menurut Dasgupta (dalam Yasa, 2003)
bahwa rasa adalah emosi yang dibangkitkan secara estetik
oleh lingkungan dan situsi artistik. Lebih lanjut, Wiryatama (1990:335—336) menjelaskan bahwa
rasa adalah sublimasi emosi dari tataran psikologis ke tataran estetik. Yasa
(2003:14) menjelaskan bahwa Agama
adalah tradisi religius. Tentu dalam konteks ini adalah tradisi religius yang
berdasarkan ajaran suci Hindu. Selanjutnya, buddhi tepet adalah intelek yang didasari oleh Catur Aiswarya, yaitu
Jnana (pengetahuan yang benar); Dharma, (norma-norma kebajikan); Wairagya (tidak terikat oleh hawa
nafsu); dan Aeswarya (berkeadaan mulia) (Aji
Sangkya, 1947:19).
Orang yang dengan sadar melaksanakan ajaran karma (prilaku) berlandaskan (a) kebenaran (sat atau jnana atau satyam); (2)
kebajikan (dharma atau cit atau siwam); (3) keindahan (anandam
atau rasa atau sundaram) untuk kerahayuan bersama akan mendapatkan kebahagiaan
duniawi dan kebahagiaan batin. Ketiga pilar tersebut adalah puncak teologi
Hindu yang tidak lain adalah ”wajah” ke-Tuhan-an Hindu dalam tiga dimensi,
trisula yang juga disebut trikona, salah satu atribut Bhatara Siwa
(Yasa,2003:15). Pada dasarnya,
kehidupan religius bertujuan untuk mencapai kemenyatuan tertinggi dengan Tuhan
yang disebut dengan moksa. Oleh
karena itu, ketiga dimensi ketuhanan ini harus menjadi dasar dari seluruh
aktivitas religus. Begitu juga teks Agastyaparwa dapat dikaji maknanya
berdasarkan ketiga dimensi tersebut berdasarkan keyakinan keagamaan.
Keyakinan keagamaan akan melahirkan
emosi religius yang mampu menggerakkan umat manusia untuk mewujudkan tindakan
berdasarkan satyam, siwam, dan sundaram. Dalam agama Hindu, sistem keyakina
Hindu dijelaskan dalam konsep Panca
Sradha, yaitu lima keyakinan yang terdiri atas Widdhi Tattwa, Atma Tattwa, Karmaphala Tattwa, Punarbhawa Tattwa, dan
Moksa Tattwa. Kelima sistem keyakinan
ini adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Melalui pembacaan hermenutik
terhadap teks Agastyaparwa ditemukan bahwa Panca
Sraddha ini merupakan hakikat yang hendak dijelaskan dalam teks tersebut.
Widdhi Tattwa,
dijelaskan bahwa pada mulanya hanya ada Bhattara Sadasiwa. Sifat Beliau adalah sakala-niskala.
Beliau bersifat kekal, abadi, dan mutlak (niratmakaswabhawa). Beliau disebut Bhattara Sarwa. Alam semesta
tercipta karena kehendak Beliau. Dari kehendak inilah beliau menciptakan
Bhatara Brahma, Wisnu, dan Brahmanda yang
menjadi benih semesta. Bhattara Brahma menciptakan seluruh makhluk, baik para Brahmarsi, Sang Hyang Manu, dan para
Pitara. Singkatnya, alam semesta dan segala isinya lahir dari Bhattara Sadasiwa. Para dewa, raksasa, manusia,
tetumbuhan, dan binatang merupakan ciptaan Bhattara Sadasiwa. Intinya bahwa
Beliau adalah asal mula dan kembalinya segala yang ada.
Atma Tattwa, bahwa
Bhattara Sadasiwa adalah jiwa dari semua makhluk (niratma). Hakikat yang niratma
ini menjadi jiwatma bagi semua
makhluk. Meskipun demikian, Agastyaparwa tidak menjelaskan secara khusus
tentang atman. Penjelasan tentang atman kemudian hanya dijumpai dalam
konsep tentang swarga, neraka, dan punarbhawa.
Karmaphala Tattwa, bahwa
manusia diikat oleh hukum karma berdasarkan trikaya,
yaitu kayika (ulah),
wacika (sabda), dan manacika (ambek). Selalu berbuat kebajikan atau
sebaliknya kejahatan itu disebut kayika; berkata
manis maupun menyakiti itu wacika namanya;
berpikir hanya tentang tuhan dan berpikir kebaikan, sebaliknya berpikir iri
dengki kepada orang lain adalah manacika.
Ini adalah dasar dari karma baik
(subha karma) dan karma buruk (asubha karma). Setiap karma akan melahirkan phala (pahala) yang akan mengantarkan
manusia ke swarga, neraka, dan
mempengaruhi kelahirannya. Agar tidak terjerumus dalam neraka dan kelahiran yang buruk maka setiap orang harus
melaksanakan tapa (pengendalian
indriya), yajna (persembahan dan
pelayanan), dan kerti (usaha yang baik). Sebaliknya,
segala tindakan yang bertentangan dengan dharma
akan menyebabkan neraka.
Punarbhawa Tattwa bahwa
setiap perbuatan harus dipertanggungjawabkan di sorga, neraka, dan menjadi
penentu kelahiran berikutnya. Setelah orang meninggal, atmanya akan pergi ke Mahaniraya.
Di sana, roh akan dibungkus dalam lingga
sarira, yaitu badan yang akan mengantarkan ke swarga atau naraka. Badan
atma yang menuju neraka akan berubah
menjadi badan yang hina (tucita),
sebaliknya yang ke surga disebut sucita. Di
sorga dan neraka inilah badan atman akan
menikmati pahala dari karmanya. Setelah
buah karma ini habis dinikmati maka akan diperkenankan oleh Bhattara Dharma
untuk berinkarnasi ke dunia. Keturunan neraka (narakacyuta) akan menjelma menjadi semut dan segala macam binatang,
juga manusia yang hina dina. Sedangkan keturunan sorga (swargacyuta) akan menjelma menjadi manusia utama dengan berbagai
sifat dan karakternya.
Moksa Tattwa, bahwa
dalam Agastya Parwa dijelaskan tentang ajaran kelepasan. Kelepasan akan dicapai
oleh orang yang tidak tergapai oleh kesenangan duniawi, badannya tetap tenang
dalam kesentosaan, menjernihkan diri dari sadwarga
yang membangkitkan dwesa, raga, dan
moha setiap hari. Inilah alam Antahkarana, yaitu pikiran yang
mengetahui baik buruknya perbuatan. Melalui Samyagjnana
maka pikiran akan dituntun hingga mencapai dhyana, dharana, tarka, partyahara, dan samadhiyoga, sehingga pikiran tidak goncang, sentos, dan teguh
dalam antah hredaya (lubuk hati
terdalam). Setelah pikiran sempurna, maka lenyaplah ahamkara. Ketika ahamkara telah
lenyap, tercapailah moksa oleh Sang
Yogiswara. Hanya Sang Yogiswara yang akan kembali ke alam Brahman. Apabila Sang Yogiswara ini masih hidup (aktif) dia akan
mendapatkan berbagai kekuatan, seperti duradarsana
(melihat yang jauh), durasrawana (mendengar
yang jauh), dan durajnana (mengetahui
yang jauh), mengembalikan Sang Hyang Urip, menghidupkan bangkai, dan
sebagainya. Akan tetapi, perilakunya selalu berdasarkan Trikaya Parartha, yaitu berpikir, berkata, dan berbuat yang suci.
Begitulah keadaan orang yang telah memahami ajaran kelepasan akan mencapai jiwanmukti.
Demikianlah Panca Sraddha merupakan satu kesatuan yang hendak diungkap oleh
teks Agastyaparwa. Kelima hal ini tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya.
Bagi yang telah mencapai alam Brahman, maka
kebenaran, kesucian, dan keindahan akan dicapainya. Karena tidak ada perbedaan
lagi antara Atman dan Brahman. Inilah makna terdalam yang
dapat digali dalam teks Agastyaparwa sebagai sistem keyakinan Hindu yang harus
menjadi pedoman seluruh perilaku religius.
8. Penutup
Berdasarkan uraian
di atas, dapat disimpulkan bahwa struktur teks Agastyaparwa dapat dibedakan
atas struktur formal dan struktur narasi. Secara formal naskah ini berupa teks
prosa atau gancaran bebas dengan
bahasa Sanskerta yang ditafsirkan ke dalam bahasa Jawa Kuna. Sedangkan struktur
narasinya cenderung mengikuti gaya penulisan kitab-kitab Purana. Fungsi karya
sastra ini adalah didaktis-religius, yakni mengajarkan berbagai aspek ajaran
agama Hindu sesuai dengan Tri Kerangka Agama Hindu. Sementara itu, makna yang
terkandung di dalamnya adalah ajaran Panca
Sraddha yang saling berhubungan antara satu dengan lainnya.
Dimanakah kita bisa dapatkan buku Agastyaparwa: Teks dan Terjemahan oleh I Gede Sura, dkk.?
BalasHapusTerima kasih
Salam Rahayu