Selasa, 23 Agustus 2016

AGASTYA PARWA

AGASTYAPARWA:
KAJIAN STRUKTUR, FUNGSI, DAN MAKNA

Oleh
Nanang Sutrisno

Abstrak
Agastya Parwa adalah teks kesusasteraan Jawa Kuna yang menceritakan tentang percakapan antara Bhagawan Agastya dengan putranya, yakni Sang Drdhasyu. Melalui pembacaan dengan teori Strukturalisme dan Hermeneutik dapat diketahui struktur, fungsi, dan maknanya. Struktur teks ini adalah berbentuk prosa atau gancaran dengan struktur naratif yang menyerupai model penulisan kitab-kitab purana. Fungsi teks ini terutama mencakup fungsi didaktis-religius. Sementara itu, maknanya adalah Panca Sraddha sebagai satu kesatuan yang utuh dan menyeluruh.
                                                                               

1.     Pendahuluan
Agama Hindu dibangun di atas tiga kerangka dasar, yaitu tattwa, susila, dan acara. Sudharta dan Puniatmadja (2001:5) menjelaskan bahwa tattwa itu sebagai kepala, susila itu sebagai hati, dan acara itu sebagai tangan dan kaki agama. Ketiga hal tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain sebagai halnya kepala, hati, dan kaki yang tidak dapat dipisahkan untuk membentuk manusia sempurna. Ketiga kerangka inilah yang diimplementasikan oleh umat Hindu dalam keberagamaannya, baik secara individu maupun kolektif. Penjelasan atas ketiga kerangka tersebut dapat dirujuk pada berbagai teks kesusasteraan Hindu, baik Sruti maupun Smerti.
Salah satu kesusasteraan Hindu adalah Agastyaparwa. Nama kitab ini diambil dari nama Bhagawan Agastya yang dalam sastra-sastra Sansekerta dikenal sebagai seorang Rshi yang menyebarkan paksa Siwa Siddhanta ke India Selatan sampai ke Indonesia. Ia adalah Bhagawan pengelana yang tidak pernah kembali pulang (Sura, dkk, 2002:iii). Teks Agastyaparwa menceritakan tentang percakapan antara Bhagawan Agastya dengan putranya yang bernama Sang Drdhasyu. Masa penulisan kitab ini memang tidak diketahui karena tidak memuat angka tahun dan masa pemerintahan seorang raja, sebagaimana lazimnya teks-teks Jawa Kuna lainnya. Akan tetapi, Poerbatjaraka memasukkan teks Agastyaparwa ke dalam teks Jawa Kuna golongan tua. Mengingat susunannya menyerupai kitab Brahmandapurana berbahasa Jawa Kuna dan diperkirakan seumuran dengan teks Sang Hyang Kamahayanikan pada masa Mpu Sindok di Jawa Timur (Sura, dkk, 2002:iii).
Pada umumnya teks-teks kesusasteraan Hindu merupakan sistem bahasa berlapis sehingga untuk memahaminya diperlukan pembacaan secara mendalam. Sejalan dengan hal tersebut, Yasa (2010:19) menjelaskan bahwa karya sastra merupakan aktivitas bahasa yang tidak langsung dan bersifat hypogramik. Aktivitas dimaksud bersifat dialektik antara teks dan pembaca; dan dialektik antara tataran mimetik dan tataran semiotik. Artinya, pembaca sebagai pemberi makna harus mulai dari pembacaan heuristik, yakni pembacaan berdasarkan kompetensi linguistik untuk menemukan arti. Kemudian, melanjutkan analisis dengan hermeneutik, yakni pembacaan struktural berdasarkan kompetensi sastra untuk menemukan pusat makna.
Berpijak pada hal tersebut, Agastyaparwa sebagai teks kesusasteraan Hindu perlu diungkap secara luas dan mendalam. Pengungkapannya diarahkan untuk memahami teks ini mencakup struktur, fungsi, dan maknanya. Melalui pengungkapan struktur dapat dipahami struktur teks, baik formal maupun naratifnya. Melalui pengungkapan fungsi diharapkan dapat dipahami fungsi teks tersebut terutama dalam khasanah Ilmu Agama dan Kebudayaan. Sebaliknya, pengungkapan makna teks dilakukan untuk menemukan pusat makna dari teks Agastyaparwa sehingga dapat digunakan untuk menata kehidupan keagamaan dan moralitas yang lebih baik bagi umat manusia.  

2.     Kajian Pustaka
Teks Agastyaparwa yang dikaji dalam makalah ini adalah Agastyaparwa: Teks dan Terjemahan oleh I Gede Sura, dkk., yang diterbitkan oleh Widya Dharma pada tahun 2002. Dipilihnya teks ini karena diyakini para penerjemah telah melakukan kajian filologi secara mendalam untuk menentukan teks asli yang diterjemahkan. Selain itu, teks dan terjemahan ini belum mendapatkan interpretasi dari penerjemah sehingga masih mempertahankan keasliannya. Oleh karena itu, pengungkapan struktur, fungsi, dan maknanya dapat memperdalam kajian terhadap teks tersebut.
Konsep struktur dapat dirujuk dari pendapat Aristoteles dalam bukunya yang berjudul “Poetika” yang ditulis sekitar tahun 340 SM di Athena. Aristoteles meletakkan dasar yang kuat untuk pandangan yang menganggap karya sastra sebagai struktur yang otonom. Masalah struktur karya sastra dibicarakannya dalam rangka pembahasan tragedi, khususnya dalam pembahasan plot. Efek tragedi dihasilkan oleh aksi plotnya dan untuk menghasilkan efek yang baik, plot harus mempunyai keseluruhan dan dipenuhi empat syarat utama yaitu (1) order (urutan dan aturan), (2) unity (kesatuan), (3) complexity (kompleksitas), dan (4) coherence (koherensi atau kesalinghubungan antarbagian) (Teeuw, 1984:120). Artinya, struktur menekankan pada keterjalinan dan kesalinghubungan antarbagian dalam sebuah teks yang bersifat otonom.
Konsep fungsi berarti (1) kegunaan suatu hal; dipakai sebagai apa; untuk apa, (2) jabatan, kedudukan. Kata yang berkaitan dengan ini adalah berfungsi yang berarti: (1) bertugas, menduduki jabatan, (2) digunakan sebagai (Badudu-Zein,1994:412). Aspek fungsi merupakan hasil kerja yang teratur dan terpadu yang mengacu pada “bagaimana”. Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Novia, 2005:134) kata fungsi diartikan sebagai (1) jabatan atau pekerjaan yang dilakukan, (2) faal atau kerja salah satu bagian tubuh, (3) besaran yang berhubungan, jika besaran yang satu berubah maka besaran yang lain juga berubah, dan (4) kegunaan suatu hal. Fungsi mengandaikan bahwa setiap unsur dalam struktur sosial memiliki tujuan masing-masing.
Ogden dan Richards (1923) menyatakan makna adalah (a) suatu sifat intrinsik, (b) konotasi suatu kata, (c) tempat sesuatu di dalam sistem, (d) sesuatu yang benar-benar diacu oleh pemakai lambang, (e) sesuatu yang seharusnya diacu oleh pemakai lambang, (f) sesuatu yang menurut keyakinan pemakai lambang dipakai sebagai acuan, dan (g) sesuatu yang oleh penafsir lambang diacu, diyakini bahwa dia sendiri mengacu kepadanya, dan diyakini bahwa pemakai mengacu kepadanya. Artinya, makna adalah sesuatu yang berada di dalam sistem serta diacu oleh pengarang dan penafsir lambang.

3.     Landasan Teori
3.1  Teori Strukturalisme
Kaum strukturalisme yang menganggap karya sastra sebagai struktur yang unsurnya terjalin secara erat dan berhubungan antara satu dan lainnya. Karya sastra merupakan sebuah kesatuan yang utuh sehingga karya sastra dapat dipahami maknanya, jika dipahami bagian-bagiannya atau unsur-unsur pembentuknya, relasi timbal balik antara bagian dan keseluruhannya. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Fananie (2000:76) bahwa karya sastra tidak hanya dinilai berdasarkan pada salah satu elemennya, tetapi harus dilihat sebagai keseluruhan. Oleh karena itu, analisis struktural sastra juga disebut pendekatan objektif karena menganalisis unsur intrinsiknya. Berkaitan dengan itu, juga Fananie (2000:112) menegaskan bahwa pendekatan objektif adalah pendekatan yang mendasarkan pada suatu karya sastra secara keseluruhan. Pendekatan yang dinilai dari eksistensi sastra itu sendiri berdasarkan konveni sastra yang berlaku.
Berkaitan dengan hal tersebut, Hartoko (1986:135—136) menegaskan bahwa unsur-unsur teks secara berdiri sendiri tidaklah penting. Unsur-unsur itu hanya memperoleh artinya dalam sejumlah relasi, baik relasi asosiasi ataupun relasi oposisi. Relasi-relasi yang dipelajari dapat berkaitan dengan mikroteks (kata, kalimat), keseluruhan yang lebih luas (bait, bab), maupun intertekstual (karya-karya lain dalam periode tertentu). Relasi tersebut dapat berwujud ulangan, gradasi, ataupun kontras dan parodi. Meskipun demikian, struktur bukanlah suatu yang statis, tetapi bersifat dinamis karena di dalamnya memiliki sifat transformasi. Oleh karena itu, pengertian struktur tidak hanya terbatas pada struktur (structure), tetapi sekaligus mencakup pengertian proses menstruktur (structurant) (Peaget dalam Sangidu, 2004:16). Dengan demikian, teori struktural adalah suatu disiplin yang memandang karya sastra sebagai suatu struktur yang terdiri atas beberapa unsur yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya.

3.2  Teori Hermeneutik
Secara etimologis, kata ‘hermeneutik’ (Inggris: hermeneutic) berasal dari bahasa Yunani “hermeneuein” yang berarti menafsirkan. Kata benda hermeneia secara harfiah dapat diartikan sebagai ‘penafsiran’ atau interpretasi (Sumaryono, 2001:23; Palmers, 2005:15). Dalam perkembangan berikutnya, hermeneutik menjadi cara baru untuk bergaul dengan bahasa yang menjadi media pengungkapan seluruh pengalaman dan kebudayaan manusia. Hal ini tidak terlepas dari pandangan brilian Schleirmacher (Sumaryono, 2001:34) bahwa hermeneutik adalah seni penafsiran yang dapat diterapkan pada teks apapun, baik dokumen hukum, teks keagamaan, seni, dan  karya sastra lainnya. Dengan semakin besarnya minat para intelektual untuk menggunakan cara kerja hermeneutik pada berbagai teks kebudayaan. Dalam pergulatan internalnya, hermeneutik mengalami proses perkembangan dan transformasi yang dinamis sehingga melahirkan beberapa aliran atau mazhab dengan teorinya masing-masing. Secara ringkas dapat dijelaskan postulat-postulat penting dari beberapa pencetus teori hermeneutik klasik.
Schleirmacher menyatakan bahwa tugas interpretan atau penafsir adalah menafsirkan teks sebaik, atau bahkan lebih baik dari pengarangnya sendiri. Untuk itu, diperlukan kemampuan penafsir untuk memahami suasana kejiwaan pengarang pada saat mengarang karyanya. Pada pihak lain, Dilthey menyatakan bahwa kebenaran teks dapat dijangkau, karena teks memiliki kebenaran dalam dirinya sendiri yang tetap, riil, dan permanen. Seorang penafsir dapat menjangkau kebenaran sebuah teks bila memahami korelasi antara ‘ungkapan’ dan ‘muatannya’. Dilthey juga terkenal dengan analisis hermeneutika-historis bahwa teks tidak pernah terlepas dari pasang surutnya sejarah. Berbeda dengan itu, Gadamer menyatakan bahwa sekali teks dilempar ke ruang publik, teks tersebut telah hidup dengan nafasnya sendiri. Tidak ada kaki referensial yang menopang, bahkan oleh pengarangnya sendiri. Oleh karenanya, tugas hermeneutik bukanlah untuk menguak makna asli teks seperti yang dikehendaki pengarang, tetapi diarahkan untuk memproduksi makna teks yang hanya tergantung kepada pembaca atau penafsir. Konsekuensinya, para penafsir yang berbeda latar belakang kebudayaan, usia, atau tingkat pendidikannya tidak akan melakukan interpretasi yang sama, dan pada titik-kulminasi memunculkan hasil penafsiran yang bermacam-macam (Sumaryono, 2001:35—55).
Makalah ini hanya difokuskan pada cara kerja hermeneutik yang disampaikan oleh Hans-Georg Gadamer dengan pertimbangan sebagai berikut. Pertama, sebagian kalangan bahwa Gadamer mendapatkan pengaruh Paul Ricour yang terkenal dengan jargon ‘‘matinya sang pengarang’’ (the death of author) (Sumaryono, 2001:109). Maksudnya bahwa interpretasi tidak sama dengan mengambil suatu teks lalu mencari makna yang dikehendaki oleh pengarang teks tersebut. Bagi Gadamer (Bertens, 2002:263). Arti suatu teks tetap terbuka dan tidak terbatas pada maksud pengarang teks tersebut sehingga interpretasi tidak bersifat reproduktif belaka, tetapi juga produktif. Dengan demikian, teks ini bersifat otonom sehingga interpretasi dapat dilakukan untuk memproduksi makna.
Kedua, Gadamer mengkritik pendapat hermeneutika romantis tentang waktu, yakni bahwa seorang interpretan harus dapat melepaskan diri dari dimensi waktu yang melingkupinya dan berziarah ke dimensi waktu pengarang teks. Menurut Gadamer (Hardiman, 2003:48—49) bahwa interpretan tidak dapat melepaskan diri dari situasi historis tempatnya berada. Sebuah teks mempunyai keterbukaan makna untuk masa sekarang, bahkan masa yang akan datang. Oleh karena itu, memahami dan menginterpretasikan suatu teks merupakan tugas yang tidak akan pernah selesai. Setiap zaman memiliki beban tugas untuk menginterpretasikan suatu teks. Makna teks bukanlah makna bagi pengarangnya, melainkan makna bagi kehidupan pada zaman ini. Dengan demikian, penafsiran adalah proses kreatif.
Ketiga, Gadamer juga mengkritik secara tajam konsep “tradisi’ dan “prasangka” yang digagas para pengusung hermeneutika romantis. Menurut tradisi hermeneutika romantis, prasangka harus dihindarkan jauh-jauh dalam menafsirkan suatu teks. Menurut para pemikir hermeneutika romantis, prasangka (prejudice) hanya memiliki arti kurang baik dan bertentangan dengan kebenaran. Akan tetapi, justeru menurut Gadamer (Bertens, 2002:264—265) bahwa untuk memahami suatu teks dapat dimulai dari prasangka-prasangka. Menurutnya, tradisi akan membantu interpretan dalam menginterpretasi makna teks.
Selanjutnya, Gadamer (Syamsudin, 2006:5—9) mengemukakan teori untuk meraih pemahaman atas suatu teks, sebagai berikut: (a) seorang penafsir harus mampu mengatasi subjektivitasnya ketika menafsirkan sebuah teks; (b) dalam proses pemahaman, pra-pemahaman selalu memainkan fungsi yang signifikan. Fungsi pra-pemahaman adalah untuk mendialogkan pengetahuan awal yang dimiliki (pra-pemahaman dengan teks yang sedang ditafsirkan; (c) proses penafsiran dipengaruhi oleh dua horison, yakni cakrawala (pengetahuan) atau horison yang ada di dalam teks, dan cakrawala (pemahaman) atau horison pembaca. Oleh karena itu, ketika seseorang membaca teks yang muncul pada masa lalu, maka ia harus memperhatikan horison historis di mana teks tersebut muncul (baca: diungkapkan atau ditulis). Interaksi di antara dua horison tersebut dinamakan “lingkaran hermeneutik” (hermeneutical circle). Dalam proses ini terjadi pertemuan antara subjektivitas pembaca dan objektivitas teks, di mana makna objektif teks harus lebih diutamakan oleh pembaca atau penafsir teks; (d) selain proses memahami dan menafsirkan, juga dituntut “penerapan” (application) pesan-pesan atau ajaran-ajaran pada masa ketika teks itu ditafsirkan; dan (e) interpretasi adalah sebuah seni yang melibatkan taste (rasa, selera). Oleh karena itu, interpretan memiliki otonomi untuk menggunakan bahasa penalarannya sendiri sehingga menjadikan pemaknaan itu lebih indah.  
Berdasarkan keempat teori tersebut dapat ditarik tiga sumbangan penting pemikiran Gadamer dalam interpretasi teks. (1) keterbukaan terhadap “yang lain” karena meniscayakan meleburnya latar belakang penafsir dalam dunia makna sehingga melahirkan pluralitas penafsiran; (2)  Gadamer yang tidak melegitimasi satu penafsiran sebagai sesuatu yang benar sehingga memungkinkan munculnya penafsiran dan pemahaman secara beragam; dan (3) pemahaman dan pembacaan terhadap teks tidak meniscayakan pembaruan terus-menerus.

3.3  Teori Intertekstualitas
Intertekstualitas adalah telaah terhadap sejumlah teks yang diprediksi mempunyai hubungan tertentu dengan teks-teks lain, misalnya hubungan tema, penokohan, dan unsur-unsur intrinsik lainnya. Secara lebih khusus intertekstualitas berarti berusaha menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya-karya sebelumnya yang muncul pada karya-karya berikutnya (Cika, 2003:780). Asumsi dasar dari teori ini bahwa sebuah teks tidak akan bebas dari pengaruh-pengaruh teks-teks lainnya. Pandangan ini dikemukakan Teeuw (2003: 120-121) sebagai berikut.
Setiap teks sastra dibaca dan harus dibaca dengan latar belakang teks-teks lain, tidak ada sebuah teks pun yang sungguh-sungguh mandiri, dalam arti bahwa penciptaan dan pembacaannya tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks-teks lain sebagai contoh, teladan, dan kerangka. Pemahaman teks baru memerlukan latar belakang pengetahuan teks-teks sebelumnya.

Makalah ini meletakkan suatu teks dalam sistem sastra dengan memperhatikan hubungan dan kesinambungannya dengan teks-teks lain, baik secara sinkronis maupun diakronis. Dengan kata lain dalam penelitian ini digunakan prinsip intertekstualitas, baik dalam rangka melacak penciptaan teks maupun dalam rangka menelusuri resepsinya (Teeuw, 2003: 121; Jauss dalam Titib, 2006:24). Dalam hal ini, upaya untuk memahami struktur, fungsi, dan makna teks Agastyaparwa tidak dapat dilepaskan dari keberadaan teks-teks susastera Hindu yang lain. Oleh karena itu, teori intertekstualitas menjadi penting untuk digunakan.

4.     Metode
Berkaitan dengan pembacaan mendalam terhadap struktur, fungsi, dan makna teks menurut Yasa (2006:45) bahwa ada dua prinsip universal utama yang berfungsi dalam kode bahasa sastra, yaitu (1) prinsip ekuivalensi atau kesepadanan, yakni efek sastra yang dihasilkan dari gabungan bahan-bahan yang dari segi tertentu (bunyi, tata bahasa, makna) merupakan pasangan ekuivalen; (2) prinsip deviasi atau penyimpangan, yakni efek kesastraan yang ditimbulkan dari penyimpangan dari penggunaan bahasa. Sahredaya ‘penjiwaan atau kesehatian’ dan hredayasamvada ‘imajinasi terbagi atau pergumulan batin melalui proses imajinasi dengan membagi perasaan dengan sesuatu yang lain (objek yang dihayati)’ merupakan dua metode yang dianjurkan untuk dapat menghayati rasa teks yang dihadapi. Dalam penelitian ini prinsip ekuivalen digunakan bukan terhadap bunyi, melainkan terhadap makna yang mungkin dimunculkan oleh kode bahasa dan budaya sehingga makna sastra yang mengacu pada pendidikan agama Hindu. Pergumulan mendalam terhadap teks dilakukan sejak pengumpulan data hingga analisis data ini dilakukan dalam tahapan-tahapan seperti dijelaskan di atas.  
Selanjutnya, Yasa (2006:46) berdasarkan pemikiran Teuuw menegaskan bahwa untuk memahami karya sastra (juga seni lainnya) diperlukan pengetahuan sistem kode yang cukup rumit, kompleks, dan aneka ragam. Lebih lanjut, Teeuw (1983) menyatakan bahwa ada tiga sistem kode yang diperlukan peneliti: kode bahasa, yakni kemampuan membaca teks sebaik-baiknya melalui tata bahasa dan kosakata bahasa teks yang diteliti; kode budaya, yakni kemampuan memahami isi teks melalui pengetahuan tentang konsep-konsep budaya yang menjadi atau isi teks yang ditelaah; dan yang tidak kalah pentingnya adalah kode sastra, semisal tentang tembang, urutan kata, pilihan kata, struktur kalimat, permainan bunyi, permainan arti, dan unsur tata bahasa yang khas. Seluruh pemakaian bunyi atau kata dapat menjadi tanda yang menandai sesuatu, yang pada gilirannya berfungsi untuk memperkuat dan membulatkan seluruh makna teks. Dalam penelitian ini bunyi atau tembang tidak dijadikan perhatian karena penelitian ini hanya terbatas pada prinsip sesuai dengan analisis pendidikan agama Hindu.
Mengingat bahasa sastra merupakan sistem tanda maka diperlukan pembacaan menurut prinsip kerja teori semiotik ‘ilmu tanda’ seperti yang diajukan oleh Riffarterre (dalam Yasa, 2006: 46). Pertama-tama, dilakukan pembacaan secara heuristik, yakni pembacaan menurut kompetensi kebahasaan teks yang dikaji. Setelah itu pembacaan dilakukan menurut pembaca hermeneutik, yakni pembacaan berdasarkan konvensi sastra dan budaya yang termuat dalam teks. Dalam rangka itu teks bagaimanapun juga, tentulah merupakan tenunan yang bahannya diambil, baik secara langsung atau tidak langsung, dari teks-teks yang pernah dibaca oleh pengarang sebelumnya. Langkah kerja seperti ini digunakan untuk melihat eksistensi teks. Hal ini dilakukan karena penelitian ini lebih menekankan analisis isi daripada struktur, sehingga analisis struktur teks seolah-olah diabaikan. Dengan tahapan-tahapan kerja yang demikian maka analisis teks Agastyaparwa dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

5.     Struktur Teks Agastyaparwa
Struktur teks dapat dibedakan menjadi dua, yaitu struktur formal dan struktur naratif. Secara formal, teks Agastyaparwa merupakan karya sastra berbentuk prosa atau gancaran. Prosa ini disusun dalam dua bahasa, yaitu bahasa Sanskerta dan bahasa Jawa Kuna. Secara sederhana dapat dimengerti bahwa teks berbahasan Jawa Kuna merupakan penerjemahan dan ulasan dari teks yang berbahasa Sanskerta. Struktur seperti ini juga dapat ditemukan dalam teks-teks Jawa Kuna yang lain, misalnya Slokantara dan Sarasamuccaya.  Sementara itu, struktur naratif teks Agastyaparwa dapat dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, teks ini diawali dengan menceritakan tentang Sang Drdhasyu, yaitu putra Bhagawan Agastya yang dikatakan sebagai pendeta muda yang telah sempurna. Sebelum memulai cerita, tampaknya pengarang memuja istadewata, yaitu Sang Hyang Aditya. Kemudian, Pendeta muda ini bertanya kepada ayahnya, yakni Bhagawan Agastya  tentang awal mula dan berakhirnya alam semesta (brahmanda), serta para dewatanya. Selanjutnya, isi teks berikutnya adalah penjelasan dari Bhagawan Agastya terhadap pertanyaan tersebut. Hal ini menyerupai penjelasan kitab-kitab Purana tentang penciptaan alam semesta dan segala isinya, termasuk silsilah para dewa, raksasa, dan manusia.
Kedua, setelah Bhagawan Agastya menjelaskan tentang penciptaan dan peleburan alam semesta beserta segala isinya maka Sang Drdhasyu bertanya tentang segala hal yang menyebabkan orang mendapatkan neraka dan surga. Atas pertanyaan ini, Bhagawan Agastya memberikan jawaban tentang karma dan phala dari Tri Kaya Parisudha. Dalam penjelasan berikutnya dijelaskan juga tentang hubungan karmaphala dengan sorga, neraka, reinkarnasi (punarbhawa) dan kelepasan (moksa). Untuk memperdalam tentang hubungan tersebut, juga dijelaskan secara panjang lebar tentang karmawasana dari perbuatan seseorang yang dapat dilihat dari kualitas kelahirannya.
Ketiga, bagian berikutnya menjelaskan tentang kehidupan para dewa (Aditya) dan raksasa (Ditya) yang dapat dijadikan teladan tentang perbuatan yang baik dan buruk. Secara umum, penjelasan ini merupakan kelanjutan dari bagian pertama dan hubunganya dengan bagian kedua di atas. Artinya, bagian ini hampir sebagian besar membicarakan tentang silsilah para dewa dan raksasa, yang sekaligus menjadi penjelasan lebih lanjut tentang perbuatan.
Keempat, penjelasan tentang ajaran kependetaan (kawikon) dan kelepasan.  Pada bagian inilah, Bhagawan Agastya menjelaskan tentang segala hal yang dapat melepaskan manusia dari jurang kesengsaraan dan mencapai kebahagiaan sejati (moksa). Kelima, Sang Drdhasyu bertanya tentang silsilah para Brahmarsi dan Dewarsi. Sampai kepada cerita Sang Jatayu yang dahulu sempat berusaha menyelematkan Dewi Sita saat diculik Rahwana atau Dasanana. Selanjutnya, diungkapkan tentang sifat-sifat Jatayu yang dapat diteladani manusia dalam menjalani kehidupannya. Demikian juga berikutnya dijelaskan tentang penjelmaan manusia berdasarkan perbuatannya (phala karma). Keenam, Bhagawan Agastya mengajarkan tentang dharmasadhana atau kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan untuk melaksanakan dharma atau kebenaran. Pada bagian ini diajarkan tentang tapa, brata, yoga, dan samadhi. Meskipun demikian, bagian ini juga menjelaskan tentang kewajiban dan perilaku seorang Pendeta (lihat bagian keempat). Ketujuh, pada bagian terakhir dijelaskan tentang catur warna dan hubungannya dengan catur asrama.
Berdasarkan struktur naratif tersebut dapat dipahami bahwa gaya penulisan teks Agastyaparwa seperti gaya penulisan kitab-kitab purana. Cerita yang diketengahkan di dominasi oleh cerita tentang penciptaan dan silsilah para dewa, raksasa, dan para Rshi. Selain itu, juga diuraikan secara siklis bahwa antar bagian senantiasa berhubungan satu dengan yang lain. Ajaran agama diselipkan dalam setiap bagian cerita dan membangun keutuhan dari cerita tersebut. Hal ini sekaligus menjadi petunjuk untuk memahami fungsi dan makna teks Agastyaparwa terutama dalam pendekatan agama dan kebudayaan Hinduistik.


6.     Fungsi Teks Agastyaparwa
Untuk mengkaji fungsi teks Agastyaparwa, strukturalisme menekankan pada analisis struktur dalam (inner structure). Artinya, tidak ada yang berada di luar teks sehingga memahami isi teks secara mendalam menjadi upaya untuk menemukan fungsi dan makna teks secara keseluruhan. Untuk apa teks itu ditujukan sesungguhnya telah terkandung dalam teks itu sendiri. Dalam hal ini fungsi teks Agastyaparwa dapat dirujuk dalam kedudukannya sebagai teks didaktis-religius dalam khasanah kesusasteraan Hindu.
Kesusasteraan Hindu menjadi landasan untuk mengerti Rta dan memahami Dharma, dua hukum kehidupan tertinggi, selain ketuhanan. Rta mengajarkan prinsip-prinsip hukum alam (logika) dan dharma menganjurkan prinsip-prinsip hukum moral (etika). Kedua hukum ini dijelaskan secara luas dan mendalam dalam Sruti. Artinya, Sruti menjadi sumber hukum kehidupan tertinggi dan kemudian, dijabarkan dalam kitab-kitab Smrti, Sila, Acara, dan Atmanastuti. Hirarki susastra Hindu tentang hukum kehidupan ini, seperti dijelaskan dalam Manawa Dharmasastra II. 6 berikut.
”Idanim dharma pramanamyaha,
wedo khilo dharma mulam,
smrti sile ca tadvidam,
Acara’s ca iwa sadhunam, atmanastutirewa”.
Artinya:
Seluruh pustaka suci Weda (Sruti dan Smrti) merupakan sumber pertama dari dharma. Kemudian adat istiadat, setelah itu tingkah laku yang terpuji dari orang-orang bijak yang mendalami ajaran suci Weda (sila), juga tata cara kehidupan orang suci (acara), dan akhirnya kepuasan pribadi (atmanastuti).

Kebenaran absolut yang disampaikan Sruti, direfleksikan menjadi ajaran-ajaran Smrti. Oleh karena itu, refleksi dari Smrti dapat dikatakan menjadi metode untuk memahami keseluruhan struktur dan isi Sruti. Hal ini ditegaskan dalam Sarasamuscaya 39 berikut.
Ndan Sang Hyang Weda, paripurnakena makasadana Sang Hyang Itihasa mwah Sang Hyang Purana, apan Sang Hyang Weda ajerih ring wong akedik ajinia.
Artinya :
Untuk mencapai kesempurnaan mempelajari Weda, maka pelajarilah Itihasa dan Purana, karena Weda takut kepada orang yang sedikit ilmunya.   
Penjelasan Sarasamuccaya tersebut menegaskan bahwa untuk mencapai kesempurnaan Weda dapat dilakukan melalui pembacaan mendalam tentang Smrti, seperti Itihasa dan Purana. Itihasa adalah Mahabharata dan Ramayana, sedangkan Purana berisi cerita-cerita dari zaman kuna. Menyimak gaya penulisan dalam teks Agastyaparwa yang menyerupai gaya penulisan kitab-kitab purana maka dapat dikatakan bahwa teks ini adalah Smerti yang berfungsi menjelaskan isi Sruti. Apabila Sruti adalah dasar dari religiusitas umat Hindu, maka Smerti adalah salah satu cara untuk memahami isi Sruti. Kedua-duanya tidak dapat dipisahkan sebagai basis dari religiusitas Hindu.
Kejelasan tentang fungsi religius Agastyaparwa dapat dicermati dalam uraiannya tentang aspek-aspek keagamaan Hindu, yaitu tattwa, susila, dan acara keagamaan yang menjadi tiga kerangka dasar agama Hindu. Konsep-konsep tattwa dalam Agastyaparwa dapat dicermati dari adanya pemujaan kepada Sang Hyang Aditya, tentang para dewa dan raksasa, tentang Triloka (Bhur, Bwah, Swah), tentang akhir alam semesta (pralaya), tentang penciptaan alam semesta dan segala isinya. Hal ini tiada bertentangan dengan konsep tattwa yang terkandung dalam kitab teks-teks lontar yang bercorak Siwaistis, seperti Bhuwanakosa, Tattwajñàna, Sanghyang Mahàjñàna, Ganapati tattwa, Wrhaspati tattwa, dan Jñànasiddhanta. Dalam Siwatattwa dikatakan bahwa Tuhan disebut dengan Bhtara Siwa. Beliau adalah asal mula dan kembalinya segala yang ada. Sebagaimana dijelaskan dalam Bhuwanakosa III. 80 bahwa “seluruh alam ini muncul dari Bhatara Siwa, lenyap kembali kepada Bhatara Siwa juga” (sakweh ning jagat kabeh, mijil sangkeng Bhatara Siwa ika, lina wing Bhatara Siwa ya). Struktur Tattwa dalam Agastyaparwa dapat diringkas sebagai berikut.
“Pada waktu datangnya Mahapralaya hilanglah caturbhuta, triloka, sapta patala, para dewa, dan alam semesta semua lenyap. Alam semesta menjadi kosong dan hanya Bhattara Sadasiwa yang tetap ada. Beliau bersifat mutlak (niratmakaswabhawa), luput dari sakala-niskala, Beliau disebut Bhattara Sarwa. Ketika Beliau berkehendak mencipta maka muncullah Caturbhuta, yaitu akasa dan bayu, kemudian prthiwi dan teja. Setelah itu Beliau menciptakan telur (andamkaroti). Akhirnya, Bhattara Brahma dan Wisnu lahir dari yoga Beliau. Seluruh ciptaan kemudian lahir dari yoga Bhattara Brahma, yaitu Sang Sanaka, Sang Nandana, Sanatkumara, Byasa, semua Brahmarsi, Sang Manu, dan para pitra (leluhur). Dari sinilah akhirnya berkembang alam semesta dan segala isinya”.  

Dalam teks Agastyaparwa, juga dijelaskan tentang konsep-konsep etika (susila) yang secara umum dibungkus dalam penjelasan tentang karmaphala. Dijelaskan bahwa karmaphala bersumber dari trikaya, yaitu kayika, wacika, dan manacika. Ketiga hal inilah yang dapat menyebabkan surga dan neraka, sebagaimana dijelaskan berikut.
“kalingannya: tri pratyekanika manuwuhaken swarga mwang naraka: ulah, sabda, ambek. Ika ta maka nista, madhyamottama. Lewih phala nikang sabda saking ulah. Lewih phala nikang ambek sakeng sabda, hana pwa wwang samargi  denya gumaweyaken ikang kadustakraman, tekeng silanya tan rahayu, tekeng wuwusnya tan rahayu, nguniweh ambeknya tan rahayu, anggong tikang kapapan”.
Artinya:
“Ada tiga hal yang menyebabkan surga dan neraka, yaitu perbuatan (ulah/kayika), kata-kata (sabda/wacika), dan pikiran (ambek/manacika). Itu mempunyai tingkatan nista, madya, dan utama. Pahala kata-kata lebih utama daripada perbuatan, pahala pikiran lebih utama daripada kata-kata. Ada orang yang sepenuhnya melakukan perbuatan-perbuatan jahat, baik perbuatannya, kata-katanya, maupun pikirannya semuanya tidak baik, maka besarlah papa yang akan dijumpainya”.

Dari ketiga penyebab karmaphala inilah, juga kemudian dijelaskan tentang akibatnya berupa sorga, neraka, dan reinkarnasi (punarbhawa). Dijelaskan bahwa orang yang selalu berpikiran irihati, marah, loba, yang menjadikan pikirannya selalu kotor, orang yang perkataannya menusuk hati, kelak setelah ia mati, akan menjelma menjadi orang yang hina dina, lebih besar papanya daripada menjelma menjadi pohon kayu. Sebab yang disebut hina (mleccha) itu sulit dihilangkan. Ini adalah ajaran-ajaran susila yang menjadi bagian integral dari religius Hinduistik.
Selanjutnya, ajaran tentang acara juga dijelaskan dalam teks Agastyaparwa. Dalam teks tersebut terdapat tiga istilah penting yang dijelaskan, yaitu tapa, yajna, dan kerti. Pengendalian indriya adalah tapa, pemujaan kepada Bhattara Siwagni adalah yajna, sedangkan membangun rumah berobat, parhyangan, tempat peristirahatan, pancuran, telaga, dan sebagainya adalah kerti. Adapun yajna itu lima banyaknya yang disebut Pancayajna, yaitu dewayajna, Rshi yajna, Pitrayajna, Bhutayajna, dan Manusayajna. Di samping itu, juga dijelaskan salah satu sarana upakara, yaitu bunga. Bunga adalah sarana untuk memuja kebesaran Hyang Widhi Wasa. Bunga menunjukkan ketulusan hati dari seorang bhakta sehingga bunga yang dipilih untuk dipersembahkan dan persembahyangan adalah bunga yang harum dan suci. Secara khusus ada aturan tentang jenis-jenis bunga yang dapat digunakan sebagai sarana persembahyangan. Ini termuat dalam Agastya Parwa sebagai berikut.
“iking ngaran sekar tan wenang kapujakena ring Bhatara. Sekar rwa lawas mekar, kembang munggah ring sema, kembang uleran, sekar tan arum gandania, sekar ruruh tan ingunduh........”
Artinya :
Inilah beberapa jenis bunga yang tidak dapat engkau persembahkan kepada Tuhan. (yaitu) bunga yang telah layu, bunga yang tumbuh di kuburan, bunga yang dimakan ulat, bunga yang tidak harum baunya, dan bunga yang jatuh tanpa dipetik....”.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami fungsi didaktis-religius dari teks Agastyaparwa adalah mengajarkan tentang Tri Kerangka Agama Hindu, yaitu tattwa, susila, dan acara agama Hindu. Ketiga kerangka ini dijelaskan secara kait-mengait antara satu bagian dengan bagian yang lain. Struktur tattwa yang digunakan cenderung bersifat Siwaistis, begitu juga susila dan acara agama dapat memperkaya pemahaman terhadap kehidupan religius umat Hindu. Fungsi didaktis-religius ini sekiranya bermanfaat untuk memberikan pemahaman lebih jauh dan mendalam terhadap struktur agama Hindu, khususnya di Indonesia.

7.     Makna Teks Agastyaparwa
Untuk mengungkap makna teks Agastyaparwa dapat diawali dengan menyimak salah satu tulisan Mpu Kanwa dalam Kakawin Arjuna Wiwaha I.1, yang menjelaskan sebagai berikut.
Kadi hana purwa karma dinalih sang akarya hayu,
ulah apageh magegwana rasagama buddhi tepet,
ya juga sudhira munggu ri manah nira sang nipuna,
karana nikan sukhabhyudaya niskala yang katemu”.
Artinya :
Adalah ajaran karma yang purba, itu dipegang oleh ia yang mengusahakan kerahayuan. Yaitu perilakunya teguh berpegang pada rasa, agama, dan buddhi yang tepat. Itu sajalah sungguh teguh dalam pikirannya, ia mengusahakan kerahayuan. Karena itu ia mendapatkan kebahagiaan duniawi, kebahagiaan batin pun diraihnya. (terjemahan oleh Yasa,2003:13)

Perilaku religius adalah perilaku yang berpedoman pada rasa, agama, dan buddhi secara tepat. Menurut Dasgupta (dalam Yasa, 2003) bahwa rasa adalah emosi yang dibangkitkan secara estetik oleh lingkungan dan situsi artistik. Lebih lanjut, Wiryatama (1990:335—336) menjelaskan bahwa rasa adalah sublimasi emosi dari tataran psikologis ke tataran estetik. Yasa (2003:14) menjelaskan bahwa Agama adalah tradisi religius. Tentu dalam konteks ini adalah tradisi religius yang berdasarkan ajaran suci Hindu. Selanjutnya, buddhi tepet adalah intelek yang didasari oleh Catur Aiswarya, yaitu Jnana (pengetahuan yang benar); Dharma, (norma-norma kebajikan); Wairagya (tidak terikat oleh hawa nafsu); dan Aeswarya (berkeadaan mulia) (Aji Sangkya, 1947:19).
Orang yang dengan sadar melaksanakan ajaran karma (prilaku) berlandaskan (a) kebenaran (sat atau jnana atau satyam); (2) kebajikan (dharma atau cit atau siwam); (3) keindahan (anandam atau rasa atau sundaram) untuk kerahayuan bersama akan mendapatkan kebahagiaan duniawi dan kebahagiaan batin. Ketiga pilar tersebut adalah puncak teologi Hindu yang tidak lain adalah ”wajah” ke-Tuhan-an Hindu dalam tiga dimensi, trisula yang juga disebut trikona, salah satu atribut Bhatara Siwa (Yasa,2003:15). Pada dasarnya, kehidupan religius bertujuan untuk mencapai kemenyatuan tertinggi dengan Tuhan yang disebut dengan moksa. Oleh karena itu, ketiga dimensi ketuhanan ini harus menjadi dasar dari seluruh aktivitas religus. Begitu juga teks Agastyaparwa dapat dikaji maknanya berdasarkan ketiga dimensi tersebut berdasarkan keyakinan keagamaan.
Keyakinan keagamaan akan melahirkan emosi religius yang mampu menggerakkan umat manusia untuk mewujudkan tindakan berdasarkan satyam, siwam, dan sundaram. Dalam agama Hindu, sistem keyakina Hindu dijelaskan dalam konsep Panca Sradha, yaitu lima keyakinan yang terdiri atas Widdhi Tattwa, Atma Tattwa, Karmaphala Tattwa, Punarbhawa Tattwa, dan Moksa Tattwa. Kelima sistem keyakinan ini adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Melalui pembacaan hermenutik terhadap teks Agastyaparwa ditemukan bahwa Panca Sraddha ini merupakan hakikat yang hendak dijelaskan dalam teks tersebut.
Widdhi Tattwa, dijelaskan bahwa pada mulanya hanya ada Bhattara Sadasiwa. Sifat Beliau adalah sakala-niskala. Beliau bersifat kekal, abadi, dan mutlak (niratmakaswabhawa). Beliau disebut Bhattara Sarwa. Alam semesta tercipta karena kehendak Beliau. Dari kehendak inilah beliau menciptakan Bhatara Brahma, Wisnu, dan Brahmanda yang menjadi benih semesta. Bhattara Brahma menciptakan seluruh makhluk, baik para Brahmarsi, Sang Hyang Manu, dan para Pitara. Singkatnya, alam semesta dan segala isinya lahir dari Bhattara Sadasiwa. Para dewa, raksasa, manusia, tetumbuhan, dan binatang merupakan ciptaan Bhattara Sadasiwa. Intinya bahwa Beliau adalah asal mula dan kembalinya segala yang ada.
Atma Tattwa, bahwa Bhattara Sadasiwa adalah jiwa dari semua makhluk (niratma). Hakikat yang niratma ini menjadi jiwatma bagi semua makhluk. Meskipun demikian, Agastyaparwa tidak menjelaskan secara khusus tentang atman. Penjelasan tentang atman kemudian hanya dijumpai dalam konsep tentang swarga, neraka, dan punarbhawa.
Karmaphala Tattwa, bahwa manusia diikat oleh hukum karma berdasarkan trikaya, yaitu kayika (ulah), wacika (sabda), dan manacika (ambek). Selalu berbuat kebajikan atau sebaliknya kejahatan itu disebut kayika; berkata manis maupun menyakiti itu wacika namanya; berpikir hanya tentang tuhan dan berpikir kebaikan, sebaliknya berpikir iri dengki kepada orang lain adalah manacika. Ini adalah dasar dari karma baik (subha karma) dan karma buruk (asubha karma). Setiap karma akan melahirkan phala (pahala) yang akan mengantarkan manusia ke swarga, neraka, dan mempengaruhi kelahirannya. Agar tidak terjerumus dalam neraka dan kelahiran yang buruk maka setiap orang harus melaksanakan tapa (pengendalian indriya), yajna (persembahan dan pelayanan), dan kerti (usaha yang baik). Sebaliknya, segala tindakan yang bertentangan dengan dharma akan menyebabkan neraka.
Punarbhawa Tattwa bahwa setiap perbuatan harus dipertanggungjawabkan di sorga, neraka, dan menjadi penentu kelahiran berikutnya. Setelah orang meninggal, atmanya akan pergi ke Mahaniraya. Di sana, roh akan dibungkus dalam lingga sarira, yaitu badan yang akan mengantarkan ke swarga atau naraka. Badan atma yang menuju neraka akan berubah menjadi badan yang hina (tucita), sebaliknya yang ke surga disebut sucita. Di sorga dan neraka inilah badan atman akan menikmati pahala dari karmanya. Setelah buah karma ini habis dinikmati maka akan diperkenankan oleh Bhattara Dharma untuk berinkarnasi ke dunia. Keturunan neraka (narakacyuta) akan menjelma menjadi semut dan segala macam binatang, juga manusia yang hina dina. Sedangkan keturunan sorga (swargacyuta) akan menjelma menjadi manusia utama dengan berbagai sifat dan karakternya.
Moksa Tattwa, bahwa dalam Agastya Parwa dijelaskan tentang ajaran kelepasan. Kelepasan akan dicapai oleh orang yang tidak tergapai oleh kesenangan duniawi, badannya tetap tenang dalam kesentosaan, menjernihkan diri dari sadwarga yang membangkitkan dwesa, raga, dan moha setiap hari. Inilah alam Antahkarana, yaitu pikiran yang mengetahui baik buruknya perbuatan. Melalui Samyagjnana maka pikiran akan dituntun hingga mencapai dhyana, dharana, tarka, partyahara, dan samadhiyoga, sehingga pikiran tidak goncang, sentos, dan teguh dalam antah hredaya (lubuk hati terdalam). Setelah pikiran sempurna, maka lenyaplah ahamkara. Ketika ahamkara telah lenyap, tercapailah moksa oleh Sang Yogiswara. Hanya Sang Yogiswara yang akan kembali ke alam Brahman. Apabila Sang Yogiswara ini masih hidup (aktif) dia akan mendapatkan berbagai kekuatan, seperti duradarsana (melihat yang jauh), durasrawana (mendengar yang jauh), dan durajnana (mengetahui yang jauh), mengembalikan Sang Hyang Urip, menghidupkan bangkai, dan sebagainya. Akan tetapi, perilakunya selalu berdasarkan Trikaya Parartha, yaitu berpikir, berkata, dan berbuat yang suci. Begitulah keadaan orang yang telah memahami ajaran kelepasan akan mencapai jiwanmukti.
Demikianlah Panca Sraddha merupakan satu kesatuan yang hendak diungkap oleh teks Agastyaparwa. Kelima hal ini tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Bagi yang telah mencapai alam Brahman, maka kebenaran, kesucian, dan keindahan akan dicapainya. Karena tidak ada perbedaan lagi antara Atman dan Brahman. Inilah makna terdalam yang dapat digali dalam teks Agastyaparwa sebagai sistem keyakinan Hindu yang harus menjadi pedoman seluruh perilaku religius.

8.     Penutup
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa struktur teks Agastyaparwa dapat dibedakan atas struktur formal dan struktur narasi. Secara formal naskah ini berupa teks prosa atau gancaran bebas dengan bahasa Sanskerta yang ditafsirkan ke dalam bahasa Jawa Kuna. Sedangkan struktur narasinya cenderung mengikuti gaya penulisan kitab-kitab Purana. Fungsi karya sastra ini adalah didaktis-religius, yakni mengajarkan berbagai aspek ajaran agama Hindu sesuai dengan Tri Kerangka Agama Hindu. Sementara itu, makna yang terkandung di dalamnya adalah ajaran Panca Sraddha yang saling berhubungan antara satu dengan lainnya.


1 komentar:

  1. Dimanakah kita bisa dapatkan buku Agastyaparwa: Teks dan Terjemahan oleh I Gede Sura, dkk.?

    Terima kasih
    Salam Rahayu

    BalasHapus